Wakalah, menurut para ulama Mazhab Hanafi, adalah tindakan seseorang menempatkan orang lain ditempatnya untuk melakukan tindakan hukum yang tidak mengikat dan diketahui. Ulama Mazhab Syafi’I mengatakan bahwa wakaalah adalah penyerahan kewenangan terhadap sesuatu yang boleh dilakukan sendiri dan bisa diwakilkan kepada orang lain, untuk dilakukan oleh wakil tersebut selam pemilik kewenangan asli masih hidup. Dasar hukum al-wakalah adalah firman allah Swt.”Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.” (Q.S. Al-Kahfi:19).

Para ahli fiqih sepakat tentang sahnya pembatasan wakaalah dalam jangka waktu tertentu, seperti satu bulan atau satu tahu, karena akad wakaalah dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Hukum asal wakaalah adalah dibolehkan. Namun terkadang ia disunnahkan jika ia merupakan banyuan untuk sesuatu yang disunnahkan. Terkadang juga ia menjadi makruh jika ia merupakan bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan.

AKAD PERWAKILAN (WAKALAH)

Kita akan membahas akad wakalah seacara cukup menyeluruh, berikut daftar isinya:

  1. Apa pengertian wakalah?
  2. Apa dasar hukum al-wakalah?
  3. Apa rukun dan syarat al-wakalah?
  4. Bagaimana hukum wakalah?
  5. Bagaimana Implementasi Wakalah dalam Perbankan Syariah
  6. Apa mengakibatkan berakhirnya hukum wakalah?

Mari langsung saja kita bahas satu persatu di bawah ini

1. Definisi Wakalah

Perwakilan adalah al-wakalah atau al-Wikalah. Menurut bahsa artinya al-hifdz, al-kifayah, al-dhaman dan al-taqwidh (penyerahan pendelegasian dan pemberian mandat). Al-Waklah atau al-wikalah menurut istilah para ulama berbeda-beda antara lain sebagai berikut.

  1. Malikiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah:
  2. أَنْ يَنِيْبَ (يُفِيْمَ) شَحْصٌ غَيْرَهُ فِى حَقٍّ لَهُ يَتَصَرَّفُ فِيْه

“Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban), dia yang mengelola pada posisi itu.”

  1. Hanafiyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah:

“Seseorang menmpati diri orang lain dalam tsharruf (pengelolaan).”

  1. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa al-wakalah ialah:

“Suatu ibadah seseorang menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.”

  1. Al-Hanabilah berpendapat bahwa al-wakalah ialah permintaan “ganti seseorang yang memperbolehkan tasharruf yang seimbang pada pihak yang lain, yang didalamnya terdapat penggantian dari hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
  2. Menurut Sayyid al-Bakri Ibnu al-‘Arif billah al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dhimyati al-wakalah ialah:

“Seseorang menyerahkan urusannya kepada yang lain yang didalamnya terdapat penggantian.”

  1. Menurut Idris Ahmad al-wakalah ialah seseorang yang menyerahkan suatu urusannya kepada orang lain yang dibolehkan oleh syara’ supaya yang diwakilkan dapat mengerjakan apa yang harus dilakukan dan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakaalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selam yang mewakilkan masih hidup.

2. Dasar Hukum (Dalil) dari Wakalah

Dasar hukum al-wakalah adalah firman allah Swt.

فَا بْعَثُوْآاحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ اِلَى الْمَدِيْنَةِ

”Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.” (Q.S. Al-Kahfi:19)

عَنْ جَابِرٍ رض أَنَّ النَّبِيَّ ص م نَحَرَ ثَلَاثاً وَسِتَيْنِ وَأَمَرَ عَلِيَّا رض أَنْ يَذْبَحَ الْبَاقِي (رواه مسلم )

“:Dari jabir r.a bahwa Nabi saw. Menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali r.a disuruh menyembelih binatang kurban yang belum disembelih” (riwayat Muslim)

3. Rukun Akad Wakalah

Menurut para ulama mazhab Hanafi, rukun wakalah adalah ijab dan qabul. Ijab adalah muwakkil dan disebut juga al-ashiil. Ijab ini misalnya dengan berkata kepada orang lain., “Saya mewakkilkan kepadamu untuk melakukan hal ini”, dan lain-lain. Qabul dari wakil adalah dengan ucapan, “Saya menerimanya”, dan sejenisnya. Qabul juga terlaksana dengan semua perbuatan yang menunjukkan adanya qabul tersebut.. ia tidak disyaratkan harus berupa perkataan, karena wakaalah adalah pemberian izin dan penghapusan larangan dari orang lain untuk melakukan sesuatu, sehingga ia menyerupai pemberian izin kepada orang lain untuk memakan makanan si pemberi izin. Para ulama sepakat bahwa qabul dalam wakaalah bisa dilakukan segera setelah adanya ijab, bisa juga dengan tidak segera. Jika tidak ada ijab dan qabul, maka akad itu tidak berlangsung.

Menurut jumhur ulama, wakaalah mempunyai empat rukun , yaitu orang yang mewakilkan (muwakkil), orang yang mewakili (wakiil), sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkalfiih), dan sighah (ucapan atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan qabul).

Menurut para ulama mazhab Hambali, wakaalah ad-dauriyyah adalah sah. Wakaalah dauriyyah adalah jika seseorang berkata “Saya mewakkilkan ini kepadamu, dan setiap saya mengeluarkanmu dari perwakilan ini maka saat itu juga say mewakilkannya kepadamu atau engkau adalah wakilku”. Disamping itu sah juga pembatalan pewakilan kepada seorang wakildengan kata-kata “Setiap kali saya mewakilkan kepadamu”, atau “Setiap kali engkau kembali menjadi wakilku, maka saat itu juga saya telah membatalkanmu sebagai wakilku”.

  1. Mengaitkan wakalah dengan syarat atau batas waktu

Menurut para ulama Mazhab Hanafi dan Hambali, wakaalah bisa bersifat mutlak dan juga bisa dibatasi dengan syarat atau ketentuan-ketentuan tertentu. Terkadang wakaalah juga dibatasi dengan waktu yang akan datang. Dalil merka bagi kebolehan pembatasan ini adalah bahwa pewakilan merupakan akad yang membuat pihak lain boleh secara mutlak untuk melakukan sesuatu yang diwakilkan. Dan hal-hal yang mutlak adalah juga hal-hal yang bisa dibatasi dengan syarat dan waktu.

Imam syafi’I dalam pendapat yang ashah pada mazhabnya berkata, “Tidak sah membatasi wakaalah dengan syarat berupa sifat atau waktu. Dalil pendapat ini adalah bahwa pewakilan yang didalamnya ketidak jelasan bisa berpengaruh bagi keabsahannya. Sehingga tidak sah pembatasan terhadapnya dengan syarat-syarat, sebagaimana dalam akad jual beli dan penyewaan. Adapun dalam wakaalah ketidak jelasan dapat mempengaruhi keabsahannya, sehingga ketidakjelasan syarat juga dapat berpengaruh bagi keabsahannya, maka pembatsan dengan syarat tidak bisa diterima.

Akan tetapi jika wakil melakukan tindakan dalam wakaalah yang dibatasi dengan syarat, maka tindakannya itu sah karena adanya izin dari muwakkil walaupun akad wakaalah itu rusak. Jika muwakkil telah menetapkan akad wakaalah itu dalam melaksanakan apa yang diwakilkan, maka para ulama sepakat bahwa itu diperbolehkan. Misalnya muwakkil berkata, “Saya mewakilkan kepadamu untuk mebeli sesuatu, tap jangan membelinya kecuali setelah satu bulan”.

  1. Pembatasan Waktu Wakaalah

Para ahli fiqih sepakat tentang sahnya pembatasan wakaalah dalam jangka waktu tertentu, seperti satu bulan atau satu tahu, karena akad wakaalah dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

  1. Wakalah dengan Upah

Wakaalah sah dengan upah dan tanpa upah, karena Nabi saw. Pernah pengutus beberapa orang untuk mengambil sedekah dari umatIslam dan beliau member mereka bonus. Karena itulah, keponakan-keponakan beliau berkata kepada beliau “Andai engkau utus kami untuk mengumpulkan sedekah-sedekah itu tentu kami akan memberikannya kepadamu sebagaimana orang-orang itu, dan kami pun mendapatkan apa yang mereka dapatkan”. Maksudnya adalah mereka bisa mendapatkan bonus sebagaimana orang-orang yang diutus Nabi saw.

Wakaalah merupakan akad yang tidak mengikat (jaa’iz) yang tidak harus dilakukan oleh orang yang menjadi wakil, sehingga dia boleh mengambil upah dalam melakukan apa yang diwakilkan kepadanya. Jia wakaalah itu tanpa upah, maka ia adlah kebaikan dari wakil. Jika wakaalah dengan upah maka status hukumnya adalah akad ijaarah (penyewaan orang).

Jika pewakilan itu adlah dalam penjualan, pembelian atau haji, maka dia berhak mendapatkan bayaran jika dia telah melakukannya, walaupun pembayaran untuk barang yang dijual belum diterima. Dalam akad wakaalah dengan upah, muwakkil boleh mensyaratkan kepada wakil untuk tidak berhenti dari akad tersebut kecuali setelah jangka waktu tertentu. Jika wakil tidak menjalankan syarat itu, mak dia tidak mendapatkan upah.

  1. Keumuman dan Pengkhususan Wakalah

Menurut para ulama Mazhab Hanafi dan Maliki, wakaalah umum adalah sah, karena wakaalah boleh diberlakukan pada semua tindakan yang kewenangannya dimiliki oleh muwakkil dan dalm semua hal yang bisa diwakilkan. Imam Syafi’I dan Ahmad mengatakan bahwa wakaalah umum tidak sah karena di dalamnya terdapat ketidakjelasan yang berat. Adapun wakaalah khusus, maka para ahli fiqih sepakat akan kebolehannya. Dan wakaalah khusus inilah yang umumnya berlaku.

4. Hukum & Syarat Wakalah

Wakaalah dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijma. Dalil Al-Qur’an adalah firman Allah ta’ala ketika menceritakan tentang Ashhabul kahfi,

“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu”. (Q.S. Al-Kahfi : 19)

Ini adalah wakaalah dalam mebeli. Allah berfirman,

“Maka kirimlah seorang juru damai (hakam) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (Q.S. An-Nisaa’:35)

Adapun dalil dari sunnah, terdapat banyak hadits tentang disyari’atkannya wakaalah. Diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim bahwa Rasulullah mengutus para petugas untuk mengumpulkan zakat. Juga riwayat lain bahwa Rasulullah mewakilkan kepada Amr bin Umayyah adh-Dhamari dalam pernikahan Ummu Habibah binti Abi Sufyan. Juga hadits riwayat Bukhari tentang pewakilan dengan memberikan onta sebagai pelunas utang seseorang, serta sabda beliau.

“Sesungguhnya sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi utang.”

Adapun dalil dari ijma, maka para imam telah sepakat tentang kebolehan wakaalah, disamping adanya kebutuhan orang-orang terhadpanya, karena seseorang terkadang tidak mampu melaksanakan semua keperluannya. Oleh karena itu, wakaalah dibolehkan karena ia merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.

a. Hukum Wakalah

Hukum asal wakalah adalah dibolehkan. Namun terkadang ia disunnahkan jika ia merupakan banyuan untuk sesuatu yang disunnahkan. Terkadang juga ia menjadi makruh jika ia merupakan bantuan terhadap sesuatu yang dimakruhkan. Hukumnya juga menjadi haram jika merupakan bantuan untuk perbuatan yang haram. Dan, hukumnya adalah wajib jika ia untuk menghindarkan kerugian dari muwakkil.

b. Syarat- Syarat Akad Wakalah

Para ulama sepakat bahwa muwakkil boleh tidak hadir di majelis tranksaksi yang diwakilkan, juga muwakkil dibolehkan seorang wanita atau orang yang sedang sakit. Mazhab Maliki, tidak boleh mewakilkan kepada orang kafir untuk melakukan penjualan, pembelian atau akad salam (pesan). Hal ini agar dia tidak melakukan hal yang diharamkan.

  1. Syarat-Syarat Sighah

Terdapat dua syarat untuk sighah.

  1. Akad wakaalah berlangsung dengal lafal yang menunjukkan adanya keridhaan terhadap perwakilan itu, baik secara terang-terangan maupun secara sendirian (tidak terang-terangan).
  2. Menurut para ulama Syafi’I, disyaratkan akad wakaalah tidak dikaitkan dengan syarat, yaitu seperti ucapan seseorang, “Jika si fulan datang dari perjalanan, maka engkau menjadi wakilku untuk melakukan hal ini”.
  1. Syarat Muwakkil

Syarat muwakkil adalah pemilik kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap sesuatu yang dia wakilkan dan semua konsekuensi hukum tindakan itu berlaku padanya. Imam Syafi’I berkata, “Tidak sah pewakilan dari anak kecil secara mutlak, karena ia tidakc sah untuk melakukan sendiri semua tindakan hukum”.ini juga merupakan pendapat para ulama Mazhab Maliki dan Hambali.

  1. Syarat-Syarat Wakil

Disyaratkan wakil adalah orang yang berakal. Maksudnya, dia mengetahui transaksi dengan baik, yaitu mengetahui bahwa menjual berarti saalib (menghilangkan kepemilikan terhadap barang) dan membeli adalah jaalib (mendapatkan kepemilikan terhadap barang). Juga bisa menbedakan antara ghaban al-yasiir (perbedaan harga yang ringan dari harga yang umum) dengan al-ghaban al-faahisy (perbedaan harga yang parah).

Syarat berakal ini ditetapkan karen awakil menempati posisi muwakkil dalam menyampaikan maksudnya, sehingga wakil harus orang yang mampu menyampaikan maksud. Dan, kemampuan untuk menyampaikan maksud ini tidak bisa terwujud kecuali dengan adanya sifat berakal dan mumayyiz.

  1. Syarat-Syarat Objek yang Diwakilkan

Muwakkal fiih adalah milik muwakkil. Tidak terbayangkan orang yang tidak memiliki kewenangan terhadap suatu perkara melimpahkan suatu tindakan hukum terhadap perkara tersebut kepada orang lain. Dan syarat ini disepakati oleh seluruh dunia.

Muwakkal fiih tersebut diketahui sebagian aspeknya, maksudnya ketidakjelasan dan ketidakpastian didalamnya tidak berat. Ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh para ulama Mazhab Syafi’i. Muwakkal fiih secara syara bisa diwakilkan oleh orang lain, yaitu semua urusan keuangan dan yang lainnya yang bisa diwakili oleh orang lain.

  1. Hal-Hal yang Boleh Diwakilkan dan yang Tidak Boleh Diwakilkan
  1. Perwakilan dalam hak-hak Allah, yaitu semua hukuman had menurut pendapat para ulama Hanafi, dan munurut para ulama lainnya adalah semua hukuman hudu selain had qadzf.
  2. Perwakilan dalam hak-hak hamba.

5. Berakhirnya Akad Wakalah

Para ahli fiqh sepakat bahwa akad wakaalah tanpa upah adalah akad yang tidak mengikat bagi kedua pelaku akad. Dari pihak muwakkil misalnya, terkadang dia melihat adanya maslahat untuk menghentikan pekerjaan yang diwakilkan, atau mewakilkan kepada orang yang lainnya. Akad wakaalah ini berkahir karena banyak hal, yaitu.

  1. Muwakkil memberhentikan wakilnya
  2. Muwakkil melakukan sendiri perkara yang diwakilkan
  3. Selesainya tujuan dari akad wakaalah
  4. Muwakkil atau wakil kehilangan kecakapan untuk melakukan tindakan hukum
  5. Muwakkil pindah ke darul harb dalam keadaan murtad
  6. Muwakkil menghentikan wakil atau wakil mundur dari akad wakaalah
  7. Rusak atau hilangnya objek wakaalah karena tindakan yang diwakilkan terhadapnya
  8. Keluarnya sesuatu yang diwakilkan dari kepemilikan muwakkil
  9. Bangkrut
  10. Pengingkaran
  11. Pelanggaran wakil
  12. Kefasikan
  13. Perceraiaan
  14. Berakhirnya masa wakaalah

6. Wakalah dan implementasinya dalam produk pembiayaan perbankan syari’ah.

Dalam konteks perbankan syari’ah dasr hukum wakalah adalah UU no 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, pasal 1 ayat (13) tentang prinsip syari’ah, UU No. 21 tahun 2008 pasal 1ayat (28), dan pasal 19 ayat (1) huruf o dan beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang juga sebagai dasar hukum akad berdsarkan prinsip syari’ah yang telah disebut terdahulu.

Wakalah disebut oleh uu no 21 tahun 2008 di dua tempat, yaitu di pasal 1 ayat 28 dan pasal 19 ayat 1 huruf o. Ia dipergunakan oleh BUS sebagai landasan akad untuk kegitatan wali amanat, yaitu bank bertindak sebagai wakil bagi kepentingan bagi para pemegang surat berharga yang menyimpannya di bank dengan transaksi wakalah. Menurut UU eakalah adalah “akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa”. Bank adalah jasa penitipan uang atau surat berharga, dimana bank mendapat kuasa dari yang menitipkan untuk mengelola uang atau surat berharga tersebut. Untuk jasanya bank mendapat fee sebagai imbalan. Pengertian wakalah versi UU merupakan modifikasi dari engertian yang difatwakan oleh DSN MUI No 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah. Menurut fatwa, wakalah adalah “Pelimpahan kekuasaan oleh suatu pihak lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan”. UU tidak menyebut objek yang diwakilkan, baik jenis, sifat, jumlah, maupun status hukumnya. Namun, bukan berarti ia memperbolehkan segala objek perwakilan, karena UU terikat oleh azasnya, aitu prinsip syari’ah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

Guna menutup kemungkinan terperosoknya kegiatan wakalah yang dilakukan oleh bank kepada praktik wakalah yang keluar dari norma syari’ah, fatwa DSN MUI memagari nya dengan seperangkat ketentuan, baik yang berhubungan dengan syarat rukun maupun ketentuan lain. Para pihak yaitu muwakil dan wakil disyaratkan cukup hukum dan sudah mukallaf. Khususnya bagi muwakkil, ia adalah pemilik syah terhadapa sesuatu yang ia wakilkan.

Kesimpulan tentang Wakalah

Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakaalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selam yang mewakilkan masih hidup. Dan dasar hukum al-wakalah adalah firman allah Swt. ”Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini.” (Q.S. Al-Kahfi:19).

Wakaalah mempunyai empat rukun , yaitu orang yang mewakilkan (muwakkil), orang yang mewakili (wakiil), sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkalfiih), dan sighah (ucapan atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan qabul).