Halal bihalal sudah menjadi tradisi di Indonesia dalam perayaan Hari Raya Idul Fitri dan sudah dianggap satu paket sehingga tidak bisa lagi dipisahkan. Hanya saja status halal bihalal masih menjadi perdebatan bagi sebagian orang karena dikatakan merupakan istilah yang hanya ada di Indonesia dan tidak benar apabila dihubungkan dengan gramatika Bahasa Arab. Halal bihalal bisa diartikan sebagai kegiatan silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan.

Ada yang mengatakan bahwa kegiatan bermaaf-maafan hanya pada Hari Raya Idul Fitri tidak bisa dibenarkan. Hanya saja banyak yang mulai menyadari bahwa tujuan halal bihalal sebenarnya adalah untuk meningkatkan keharmonisan dalam hubungan kekerabatan. Halal bihalal dan Hari Raya Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk mempererat tali persaudaraan.

Mengingat terkadang aktivitas manusia membuat mereka terpaksa jauh dari kerabat dan menjadi jarang berkomunikasi, maka dengan halal bihalal akan membuat suasana Hari Raya Idul Fitri menjadi lebih berkesan dan kembali dekat dengan kerabat. Setidaknya pada acara tahunan ini maka semua pihak bisa saling memaafkan dan menjadi perhatian khusus untuk silaturrahmi.

Namun sebenarnya saling bermaaf-maafan pada saat Idul Fitri bukan berarti hanya memaafkan pada saat itu saja terlebih lagi jika dikatakan sebagai menambah syariat (bid’ah). Yang paling penting adalah umat muslim yakin jika saling memaafkan tidak akan dibatasi oleh waktu. Karena bisa salah secara syariat apabila hanya meyakini bahwa memaafkan hanya pada saat Idul Fitri saja.

Halal bihalal menjadi salah satu bukti ajaran Islam yang luwes terutama dalam mengimplementasikan nilai-nilai universalitasnya. Nilai-nilai universalitas silaturrahmi bisa diajarkan dengan berbagai macam cara yang bisa disesuaikan di daerah masing-masing hanya saja harus tetap sesuai dengan aturan dan norma-norma agama Islam yang telah ditentukan sehingga tetap tidak boleh tercampur maksiat dalam penerapannya.

Setelah manusia berbuat baik kepada Allah yaitu dengan cara berpuasa selama sebulan penuh dan mengabdikan diri kepada Allah maka pada saat momen Hari Raya Idul Fitri dan halal bihalal maka giliran merekalah yang akan memperkuat kesadaran persaudaraan, saling memaafkan, dan saling berbagi keceriaan agar bisa meninggalkan momen yang berkesan di hati.

Halal Bihalal Dalam Berbagai Pengertian

Istilah halal bihalal tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an atau Hadis menurut para pakar karena istilah tersebut memang merupakan istilah khas Indonesia bahkan bisa saja orang-orang di luar Indonesia tidak mengerti atau bahkan memiliki arti yang berbeda mengenai halal bihalal meskipun masih bersangkutan dengan pengertian agama karena memang secara historis dan filosofis istilah tersebut muncul oleh Kiai Wahab.

Tujuan dibentuknya istilah tersebut yaitu untuk menyatukan orang-orang di seluruh bangsa Indonesia karena sedang terjadi konflik antar saudara sehingga harus menyajikan suatu hal yang baru agar bisa saling berkumpul saling bermaaf-maafan. Terdapat beberapa aspek yang bisa digunakan untuk memahami istilah yang digagaskan oleh Kiai Wahab :

  1. Tinjauan hukum

Oleh para ulama, kata halal ditentang dengan kata haram. Namun apabila diucapkan sebagai halal bihalal maka akan memberikan kesan yang berarti bagi mereka yang melakukannya dan juga akan terbebas dari dosa.

Jadi bisa diartikan sesuai dengan hukum bahwa sikat kita yang tadinya haram atau berdosa bisa menjadi tidak berdosa lagi atau halal. Hanya saja hal ini bisa dicapai apabila telah memenuhi syara-syarat lainnya yang telah ditetapkan sesuai dengan hukum dan aturan misalnya seperti saling memaafkan secara lapang dada.

Menurut para pakar hukum, istilah halal juga bisa mencakup makruh. Kemudian mulai ditanyakan pengertian halal bihalal menurut aspek hukum adalah terdapat hubungan yang halal meskipun di dalamnya terdapat sesuatu hal yang makruh. Kata makruh bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak diinginkan.

Menurut aspek hukum, makruh merupakan sebuah perbuatan yang tidak dianjurkan oleh agama sehingga orang-orang yang bisa menghindari dan menjauhi perbuatan tersebut akan mendapatkan pahala. Namun dengan melakukan perbuatan tersebut juga tidak akan menambah dosa sehingga banyak yang masih sulit untuk menjauhinya.

  1. Tinjauan bahasa atau linguistik

Dalam segi bahasa, kata halal diambil dari kata halla atau halalayang memiliki berbagai makna dan bentuk sesuai dengan susunan kalimatnya. Makna tersebut antara lain melepaskan ikatan yang membelenggu, mencairkan yang membeku, meluruskan benang kusut, atau menyelesaikan problem atau kesulitan.

Dengan makna tersebut maka seseorang akan lebih memahami tujuannya yaitu dengan menyambung atau menghubungkan sesuatu yang tadinya telah putus. Hal ini menjadi mungkin apabila para pelaku ingin halal bihalal ketika silaturrahmi untuk saling bermaaf-maafan pada saat Idul Fitri agar lebih bermakna.

  1. Tinjauan Qur’ani

Dalam tinjauan Qur’ani, halal yang dituntut adalah halal yang baik dan menyenangkan, halal yang thayyib. Bisa dibilang jika Al-Qur’an menuntut para umat muslim ketika melalukan setiap aktivitasnya haruslah merupakan sesuatu hal yang baik dan menyenangkan bagi diri sendiri dan pihak lain.

Hal inilah yang menjadi alasan mengapa Al-Qur’an bukan hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain namun juga tetap harus berbuat baik meskipun orang tersebut sudah pernah melakukan kesalahan kepadanya.

Dari penjelasan dan pengertian halal bihalal di atas bisa diambil kesimpulan bahwa halal bihalal menuntut umat muslim yang terlibat untuk menyambungkan sebuah hubungan yang sudah putus demi untuk mewujudkan keharmonisan setelah terjadinya sebuah konflik ataupun tidak terjadi konflik. Namun halal bihalal sebenarnya lebih dari hanya sekedar memaafkan, namun dapat menciptakan kondisi yang damai dan positif.

Halal bihalal di Indonesia

Hingga saat ini halal bihalal Idul Fitri masih diterapkan dalam kehidupan umat muslim di Indonesia namun memiliki makna yang lebih dari sekedar silaturrahmi. Dengan merayakan Idul Fitri dan silaturrahmi serta halal bihalal maka setiap orang diharapkan dapat kembali menjadi jiwa yang suci tanpa noda dan bekas luka di hati.

tirto.id

Setiap orang pasti tidak luput dari kesalahan dan dosa sehingga dituntut untuk meminta maaf kepada orang yang disakiti namun harus meminta maaf dengan hati dan dada yang lapang serta tulus sehingga orang yang disakiti atau dimintai maaf juga bisa memberikan maaf dengan lapang dada.

Dengan demikian bukan meminta maaf ataupun memaafkan apabila tidak tulus dan masih memiliki luka di hati atau masih ada dendam. Maka dari itu orang bisa dikatakan telah memaafkan orang lain atas kesalahannya apabila dia sudah bisa menghilangkan bekas luka dan dendam di hatinya dan menjalani sesuatu tanpa beban dan dendam terhadap orang lain.

Oleh karena itu, halal bihalal yang dilakukan diharapkan agar bisa terlebih dahulu menyesali perbuatannya dan juga berjanji untuk tidak mengulanginya orang lain dan meminta maaf secara tulus dan orang yang memaafkan juga diharapkan untuk tidak dendam dan bisa memaafkan dengan tulus agar baik yang meminta maaf dan memberikan maaf bisa menghapus dosa dan suci kembali.