Bagaimana hukumnya memakai jaminan dalam mudharabah? Hal ini perlu diketahui bagi mereka yang menjalankan bisnisnya dengan akad mudharabah. Berikut adalah pembahasan dari Ustadz OniSahroni.
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb Ustadz.
Ustadz Oni, terkait standar produk mudharabah.
Mengacu pada fatwa DSN nomor 105, bisakah memasukkan klausul di pasal Agunan di contoh akad perjanjian yang berbunyi,
“Bank dapat membuatkan surat pernyataan kewajiban pengembalian modal oleh Nasabah kepada Bank jika terjadi kerugian dan atau terdapat bagi hasil yang sudah terealisasi namun belum dibayarkan (piutang bagi hasil) dalam usaha yang dijalankan.”
Terkait hal di atas, saya mau meminta pendapat Ustadz Oni.
Jawaban
Hukum Jaminan dalam Mudharabah
Wa’alaikum salam wr wb
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin sebagai berikut.
1. Akad mudharabah dan musyarakah adalah salah satu akad amanah di mana pengelola dikategorikan sebagai amin atau terpercaya. Oleh karena itu, menurut fikih tidak bertanggung jawab atas potensi kerugian jika terjadi bukan akibat kelalaiannya.
2. Mayoritas ulama menegaskan bahwa baik modal maupun keuntungan tidak boleh dijamin, sedangkan beberapa ahli fikih, seperti Nasih Ahmad, memperbolehkan modal dijamin.
3. Jaminan yang dimaksud dalam diskusi dan fatwa DSN itu bukan rahn atau kolateral atau agunan, melainkan kondisi pengelola atau syarik atau mitra yang bertanggung jawab atas pengembalian modal atau tidak.
Oleh karena itu, fatwa ini termasuk klausul bahwa nasabah boleh membuat pernyataan bahwa yang bersangkutan bersedia untuk mengembalikan modal walaupun posisi usaha tidak untung.
Jadi, meskipun untung atau rugi, nasabah pengelola wajib mengembalikan dan itu diperkenankan atas pernyataan dan kehendak sepihak dari pengelola.
4. Dengan demikian, jaminan yang dimaksud dalam fatwa ini tidak termasuk rahn, kolateral, agunan, dhaman, atau kafalah sebagaimana yang dinyatakan butir tentang jaminan sepihak dari mudharib atau pengelola.
5. Pernyataan sepihak nasabah untuk mengembalikan modal usaha termasuk dalam kondisi apapun termasuk dalam kondisi kerugian itu harus dipastikan atas keinginan sepihak nasabah, bukan karena dipersyaratkan oleh bank syariah selaku pemilik modal atau atas paksaan. Jika dalam kondisinya tidak memungkinkan maka pernyataan sepihak itu tidak diperkenankan dan tidak sesuai dengan fatwa DSN MUI.
Sesuai dengan kaidah
من التزم معروفا فقد لزمه
Barang siapa berkomitmen untuk melakukan kebaikan tertentu maka dia wajib memenuhinya. Kaidah ini hanya berlaku untuk hibah atau keinginan nasabah untuk mengembalikan modal.
6. Dalam akad mudharabah atau musyarakah pihak pemilik modal meminta pengelola untuk menyerahkan jaminan atau kolateral dengan syarat fungsi kolateral tersebut hanya sebagai jaminan atas wanprestasi yang dilakukan nasabah pengelola. Sehingga jika terjadi kerugian atas wanprestasi maka yang dieksekusi atau dikurangi atas kolateral tersebut sebesar kerugian yang diakibatkan oleh wanprestasi, tidak lebih dan tidak kurang.
Wallahu a’lam
Referensi:
- Maqashid Bisnis & Keuangan Islam Sintesis Fikih & Ekonomi (Dr. Oni Sahroni, M.A. & Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P.), Raja Grafindo, Jakarta, 2015
- Fatwa DSN MUI No.105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah bil Istitsmar
Sumber Tulisan: telegram.me/onisahronii