Istinbath Hukum – Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua sumber dalam menentukan hukum bagi umat islam pada khususnya dan seluruh manusia pada umumnya. Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat hukum yang telah dijelaskan secara terperinci. Tetapi banyak juga dijumpai ayat-ayat ahkam yang perlu diistinbathkan sebelum ditarik menjadi dalil-dalil hukum.

Kaidah-kaidah Istinbath Hukum dari dalam Nash

Makalah ini disusun menjadi beberapa bagian, yaitu kajian lafadz dari segi maknanya:

a. Lafadz yang jelas maknanya:

  1. al-zahir,
  2. al-nash,
  3. al-mufassar,
  4. al-muhkam

b. Lafadz yang tidak jelas maknanya:

  1. al-khafi,
  2. al- musykil,
  3. al-mujmal, dan
  4. al-mutasyabih

A. Pengertian Istinbath hukum

Secara bahasa kata istinbath berasal dari kata istinbatha-yastanbithu-istinbathan yang berarti menciptakan, mengeluarkan, mengungakapkan atau menarik kesimpulan1. Dengan demikian istinbath hukum adalah suatu cara yang dilakukan atau dikeluarkan oleh pakar hukum atau faqih yang mengungkapkan suatu dalil hukum yang dijadikan dasar dalam mengeluarkan suatu produk hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi2.

Objek dari istinbath hukum adalah lafadz atau ayat-ayat Al- Qur’an juga Sunnah. Para ahli Ushul menetapkan bahwa pemahaman teks dan penggalian hukum harus berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku, dalam hal ini para ahli ushul berpegang pada dua hal: (1) Pada petunjuk kebahasaan dan pemahaman kaidah bahasa arab dari teks tersebut dalam hubungannya dalam Al;Qur’an dan Sunnah. (2) Pada petunjuk Nabi dalam memahami hukum-hukum Al-Qur’an dan penjelasan Sunnah dalam hukum-hukum Qurani itu.

Kaidah pemahaman lafal arabi itu mencakup empat segi pokok pembahasan:

  1. Pemahaman dari segi arti.
  2. Pemahaman lafal dari segi petunjuknya terhadap hukum.
  3. Pemahaman lafal dari segi kandungannya.
  4. Pemahaman lafal dari segi gaya bahasa.

Dalam kesempatan ini, pembahasan kami mencakup pemahaman lafal dari segi arti.

1. Lafadz dari segi kejelasan artinya.

Secara garis besar, lafadz dari segi kejelasan artinya, terbagi kepada dua macam:

1.a. Lafal yang Jelas Maknanya.

Lafadz yang telah terang dan jelas penunjukannya terhadap makna yang dimaksud, sehingga atas dasar kejelasan itu beban hukum dapat ditetapkan tanpa memerlukan penjelasan dari luar. Lafadz yang terang artinya terbagi kepada 4 tingkat yang kekuatan dari segi kejelasan artinya berbeda. Hal ini dapat dikatagorikan ke dalam: jelas, lebih jelas, sangat jelas, dan paling jelas. Urutan ke empat tingkatan itu adalah:

Pertama: Zahir

Zahir yaitu lafal yang petunjuknya jelas untuk pengertian yang dimaksud, dan masih mungkin menerima makna lain3.

Menurut istilah ulama ushul ialah nash yang dapat menunjukan makna yang dimaksud dengan bentuk nash itu sendiri, tanpa memperhatikan pemahaman yang dimaksud daripadanya dari faktor luar atau bukan yang dimaksud menurut redaksi asal kata dan yang mengandung takwil4.5

Zahir secara bahasa berarti al-wudhuh (jelas), sedangkan menurut istilah berarti lafal yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ke tingkat zhanny (dugaan keras)6.

Contoh lafadz zahir diantaranya:

Al-Baqarah : 275.

واحل الله البيع وحرم الربوا

Dan Allah menghalalkan Jual beli dan mengharamkan Riba.

Ayat ini mengandung pengertian bahwa jual beli itu hukumnya halal dan riba itu hukumnya haram sehingga dalam lafadz tersebut menunjukan tidak adanya persamaan jual beli dan riba, karena itu makna yang segera dapat dipahami dari lafal dan tujuan asal redaksi kata, di mana ayat tersbut seperti yang telah kami terangkan, pada asalnya adalah didatangkan untuk meniadakan persamaan antara jual beli dan riba, sebagai penolakan terhadap pendapat mereka yang mengatakan: “jual beli hanyalah seperti riba”, dan asbabun nuzul ayat tersebut.

Al- Fath: 10.

يدالله فوق ايد يهم

…yad (tangan atau kekuasaan)Allah di atas tangan mereka…

Makna zahir dari kata yad dalam ayat tersebut adalah “tangan” karena untuk itulah kata itu dibentuk dari mulanya. Namun ada kemungkinan bahwa yang dimaksud bukan makna zahirnya itu tetapi makna lain, yaitu kekuasaan. Makna tersirat ini baru boleh difungsikan bilamana didukung oleh dalil. Menurut para ulama ushul fiqh, kaidah yang berlaku di sini adalah setiap lafal zahir harus dipengang makna zahirnya itu selama tidak ada petunjuk bahwa maksud pembicaraan adalah makna tersembunyi.

Kedua: Nash

Menurut istilah ulama ushul ialah nash yang dibentuknya itu sendiri telah dapat menunjukkan kepada makna yang dimaksud oleh asal redaksi katanya dan bisa menerima takwil. Maka ketika telah terdapat maksud yang segera difahami dari lafal dan untuk memahaminya tidak memperhatikan faktor luar, sedangkan itu adalah tujuan asal redaksi kata, maka lafal itu dianggap sebagai nash atas makna tersebut7.

Nash yaitu lafal yang petunjuknya tegas untuk makna yang dimaksudnkan, tatapi menerima takhsisberupa ‘am (umum), dan menerima takwil, kalau berupa khas8.

Pengertian nash tidak berarti dalil syara dalam bentuk tertulis seperti Al-Qur’an atau hadits dan bukan pula nash dalam arti fiqh mazhab, yaitu qaul (pendapat) imam mujtahid yang dijadikan dasar berijtihad bagi pengikut mazhab, tetapi kedudukan lafadz dari segi kejelasan artinya9.

Contoh lafadz nash diantaranya:

Al-Baqarah : 275.

Dan Allah menghalalkan Jual beli & mengharamkan Riba.

Secara nash, ayat itu bermaksud untuk menekankan perbedaan nyata antara jual beli dengan riba. Ini sebagai sanggahan atas pendapat orang yang mengatakannya sama.

Hal ini dapat dipahami dari ungkapan keseluruhan ayat tersebut. Meskipun maksud ayat ini sudah sangat jelas, namun dari ayat ini dapat pula dipahami maksud lain bahkan dalam arti yang lebih jelas, yaitu halalnya hukum jual beli dan haramnya hukum riba. Pemahaman menurut cara terakhir ini disebut pemahaman secara zahir.

Al-Hasyr :7

وما ءاتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فانتهوا

Apa yang diberikan Rasul (kepadamu), maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah

Ayat ini secara nash bertujuan untuk menyatakan keharusan mengikuti petunjuk Rasul tentang pembagian harta rampasan, baik yang dibolehkan maupun tidak. Karena untuk maksud inilah ayat tersebut diturunkan menurut “asalnya”, yang dapat dipahami dari ungkapan ayat itu sendiri. Namun dari ayat ini pula dapat dipahami artinya secara zahir, bahwa kita wajib mengerjakan apa yang disuruh Rasul dan menghentikan apa yang di cegah Rasul untuk mengerjakannya.

Ketiga: Al-Mufassar

Menurut istilah ulama ushul ialah nash itu sendiri sudah bisa menunjukkan kepada artinya yang sangat terperinci dan tidak ada kemungkinan takwil baginya. Diantaranya yaitu jika bentuk nash itu sendiri telah menunjukkan dalalah (isyarat) yang jelas kepada makna yang terinci, dan di dalam bentuk nash itu sendiri terkandung sesuatu yang meniadakan kemungkinan menghendaki arti lainnya10.

Mufassar adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas dan rinci tanpa ada kemungkinan untuk dipalingkan kepada pengertian lain (ta’wil)11.

Mufassar yaitu lafadz yang petunjuknya jelas untuk makna yang dimaksud dari rangkaian lafadz tersebut serta masih mungkin dimansukh12.

Dengan ditempatkannya al-mufassar ini pada diurutan ke-3, menunjukkan ia lebih jelas dari lafadz sebelumnya. Dari beberapa definisi dapat diketahui bahwa hakikat lafadz mufassar adalah:13

  1. Penunjukkanya terhadap maknanya jelas sekali.
  2. Penunjukkanya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qarimah dari luar.
  3. Karena jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin di takwil kan.

Lafadz mufassar dibagi menjadi 2:

Menurut asalnya, lafadz itu memang sudah jelas dan terinci ssehingga tidak perlu penjelasa lebih lanjut. Contohnya Surat An-Nur ayat 4, yang menjelaskan jumlah 80 kali dera atas orang yang melakukan qazf, yaitu menuduh perempuan baik-baik berzina tanpa ada saksi.

والذين يرمون المحصنت ثم لم يا توا بأربعة شهدآء فا جلدوهم ثمنين جلدة

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera

Asalnya lafadz itu belum jelas (ijmal) dan memberikan kemungkinan beberapa pemahaman artinya. Kemudian datang dalil lain yang menjelaskan artinya sehingga ia menjadi jelas. ضContohnya firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 92.

ومن قتل مؤمنا خطأ فتحرير رقبة مؤمنة ودية مسلمة الى أهله

Orang-rang yang membunuh orang beriman secara tidak sengaja, hendaklah ia memerdekakan hamba sahaya dan menyerahkan diyat kepada keluarganya.

Ayat ini mengharuskan menyerahkan diyat kepada keluarga korban, tetapi tidak dijelaskan mengenai jumlah, bentuk dan macam diyat yang harus diserahkan itu. Sesudah turun ayat ini datang penjelasan dari Nabi dalam sunah yang merinci keadaan dan cara membayar diyat itu sehingga ayat tersebut menjadi jelas dan terinci artinya.

Keempat: Muhkam

Menurut istilah ulama ushul ialah sesuatu yang menunjukkan kepada artinya, yang tidak menerima pembantahan dan penggantian dengan sendirinya secara jelas dan sama sekali tidak mengandung takwil.14

Muhkam adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya secara jelas sehingga tertutup kemungkinan untuk di takwil dan menurut sifat ajaran yang dikandungnya tertutup pula kemungkinan pernah dibatalkan oleh Allah dan Rasulnya15.

Lafadz muhkam berada pada tingkat paling atas dari segi kejelasan artinya karena lafadz ini menunjukkan makna yang dimaksud sesuai dengan kehendak dalam ungkapan si pembicara. Tidak menerimanya lafadz muhkam itu akan pembatalan atau nasakh, terkadang disebabkan oleh teks lafadz itu sendiri yang menghendaki demikian16.

Muhkam yaitu lafal yang petunjuknya untuk pengertian yang jelas sesuai dengan susunan lafal itu dan tidak mungkin menerima sesuatu yang lain baik takwil dan takhsis. Terkadang juga tidak menerima nasaskh yang ditunjuk oleh suatu qarinah17.

Muhkam terdiri dari 2 macam:

Muhkam Lizatihi atau muhkam dengan sendirinya bila tidak ada kemungkinan untuk pembatalan atau nasakh itu disebabkan oleh nash (teks) itu sendiri. Tidak mungkin nasakh muncul dari lafadznya dan diikuti pula oleh penjelassan bahwa hukum dalam lafadz itu tidak mungkin di nasakh.

Muhkam Lighairhi atau muhkam karena faktor luar bila tidak dapatnya lafadz itu di nasakh bukan karena nash atau teksnya itu sendiri tetapi karena tidak ada nash yang menasakhnya. Lafadz dalam bentuk ini dalam istilah ushul disebut lafadz qath’i penunjukkanya terhadap hukum.

Contoh muhkam diantaranya:

An-Nur ayat 4

ولا تقبلوا لهم شهدة ابدا

Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.

Kata (selama-lamanya) yang tersebut dalam ayat itu menunjukkan bahwa tidak diterima kesaksianya itu berlaku untuk selamanya, dalam arti tidak dapat dicabut. Contoh lain adalah sabda Nabi Muhammad yang artinya “jihad itu berlaku sampai hari kiamat”. Penentuan batas hari kiamat untuk jihad itu menunjukkan tidak mungkin berlakunya pembatalan dari segi waktu.

Dari empat macam dalalah yang jelas yang berbeda kondisi kejelasan dalalahnya, atas makna yang dikehendakinya, seperti yang telah diuraikan diatas. Pengaruh perbedaan ini tampak jelas ketika terjadi pertentangan. Bila az-zahir dan an-nash bertentangan, maka an-nash yang dimenangkan karena lebih jelas dalalahnya. Ketika an-nash dan al-mufassar bertentangan, maka dimenangkan oleh al-mufassar, karena al-mufassar lebih jelas dalalahnya. Penunjukkan lafadz muhkam atas hukum lebih kuat dibandingkan dengan tiga bentuk lafadz sebelumnya sehingga bila berbenturan pemahaman antara lafadz muhkam dengan bentuk lafadz lain, maka harus didahulukan yang muhkam dalam pengamalannya.

pengertian istinbath hukum

2.a. Lafal yang Tidak Jelas Maknanya

Lafaz yang belum terang artinya dan belum jelas penunjukannya terhadap makna yan dimaksud kecuali dengan penjelasan dari luar lafaz itu. Lafaz yang tidak terang artinya terbagi kepada 4 macam tingkat dalam hal ketidakjelasan pengertiannya, yaitu: tidak terang, lebih tidak terang, sangat tidak terang, dan paling tidak terang. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Pertama: Khafi

Lafaz khafi ialah suatu lafaz yang samar artinya dalam sebagian menunjukkan (dilalah)-nya yang disebabkan oleh faktor luar, bukan dari segi sighat lafaz. Lafaz khafi itu sebenarnya dari segi lafaz-nya menunjukkan arti yang jelas, namun dalam penerapan artinya terhadap sebagian lain dari satuan artinya terdapat kesamaran. Untuk menghilangkan kesamaran itu diperlukan penalaran dan takwil18.

Menurut istilah ulama Ushul, ialah lafaz yang bisa menunjukkan kepada artinya secara jelas, tetapi dalam menerapkan artinya itu kepada sebagian dari beberapa person merupakan macam yang samar dan idak jelas, yang untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu memerlukan upaya berfikir secara mendalam19.

Contoh lafaz khafi diantaranya:

Al-Maidah: 4

والسا رق والسارقة فاقطعوا أيذيهما

Pencuri laki-laki dan pensuri perempuan maka potonglah tangan-tangan mereka.

Secara umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambilm harta orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Penerapan hukuman terhadap pensuri dengan arti tersebut juga jelas. Namun lafaz “pencuri” itu mempunyai satuan arti (afrad) yang banyak, yaitu pencopet, perampok, pencuri barang kuburan, dan lain sebagainya yang mempunyai kelebihan sifat atau kekurangan sifat dibandingkan dengan pencuri dalam arti di atas. Apakah sanksi hukuman potong tangan diperlakukan terhadap semua satuan arti iu. Disinilah timbul kesamaran tersebut.

Demikian juga lafal pembunuh yang dapat menghapus hak untuk mendapatkan warisan dari pewaris, apakah pembunuh bukan langsung seperti memberi obat kepada orang yang menderita penyakit yang tidak boleh memakan obat itu, dapat menghapuskan hak warisnya?

Untuk menghapuskan kesamaran maksud lafal seperti yang diterangkan di atas, para mujtahid berusaha mencari makna yang lebih tepat melalui dilalah lafal ini, baik dengan cara mencari peersamaannya atau mencari pengertian lafal melalui bahasa.

Kedua: Musykil

Adalah lafal yang tidak jelas pengertiannya, dan ketidakjelasan itu disebabkan oleh lafal itu diciptakan untuk beberapa pengertian yang berbeda sehingga untuk mengetahui pengertian mana yang dimaksud dalam sebuah redaksi memerlukan indikasi atau dalil dari luar20.

Contoh lafaz musykil:

Al-Baqarah: 228

والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثلثة قروء

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) tiga kali quru…

Kata quru’ dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haid. Imam syafi’I mengartikannya dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid. Masing-masing mengambil kesimpulan yang berbeda itu didasarkan kepada qarinah atau dalil dari luar yang berbeda pula. Begitulah setiap lafal musykil dalam Al-Qur’an dan Sunnah, untuk memahaminya memerlukan upaya ijtihad dalam upaya mencari tanda-tanda atu dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya.

Ketiga: Mujmal

Ialah lafal yang kurang jelas dilalahnya dan tidak ditemui petunjuk lain yang menunjukkan makna yang dimaksud21.

Mujmal menurut Hanafiyah adalah lafal yang mengandung makna secara global di mana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafal itu sendiri, seperti istilah-istilah khusus dalam pemakaia syara22.

Contoh lafal mujmal ialah lafal yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’, seperti lafal shalat, puasa, zakat, haji. Lafal salat menurut bahasa dartikan sebagai doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Lafal zakat menurut bahasa diarian berkembang, namun oleh syara’ diartikan jumlah harta tertentu yang dikeluarkan untuk kepentingan orang tertentu. Puasa menurut bahasa diartikan menahan, tetapi oleh syara’ diartikan menahan diri dari sesuatu yang membatalkan puasa pada siang hari bulan Ramdhan. Haji menurut arti bahasa diartikan ziarah, namun oleh syara’ diartikan menziarahi baitullah dengan niat beribadah.

Dapat dikatakan bahwa suatu lafal menjadi mujmal karena:

Maknanya musytarak

Dipalingkan dari makna bahasa pada makna syara

Lafal itu jarang dipergunakan.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa lafal mujmal setelah mendapatkan penjelasan dari Nabi menjadi mufassar sehingga tidak mungkin dimasuki oleh ta’wil dan tidak dapat pula menerima takhsis. Sebagian ulama berpendapat bahwa lafaz mujmal setelah memperoleh penjelasan, kadang-kadang menjadi zahir aau nash, dan kadang-kadang menjadi mufassar, bahkan kadang-kadang menjadi muhkam. Karena banyak kemungkinannya, maka tidak dapat dipastikan untuk satu di antara macam-macam kemungkinan tersebut.

Keempat: Mutasyabih

Menurut istilah ulama Ushul, ialah lafazh yang shighotnya itu sendiri tidak menunjukkan pada arti atau maksud-Nya. Dan tidak terdapat qorinah-qorinah luar yang menjelaskannya. Sedangkan syari’ sudah mencukupkan begitu saja berdasarkan ilmunya dan tidak menjelaskannya.23

Mutasyabih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang digunakan untuk memberikan petunjuk tentang artnya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.24

Menurut Abdul Wahab Khallaf, mutasyabih dalam pengertian ini tidak ditemukan dalam ayat-ayat hukum, tetapi dalam ayat-ayat bentuk lain. Misal huruf huruf terpotong yang terletak di awal surah.25

Secara bahasa adalah lafaz yang meragukan pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan.26 Dalam istilah hukum, lafaz mutasyabih adalah

اللفظ الذى يخفى معناه ولا سبيل لا ن تدركه عقول العلما ء

Lafaz yang samar artinya tidak ada cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.

Ketidakjelasan lafaz mutasyabih ini karena sighot-nya sendiri tidak memberikan arti yang dimaksud, tidak ada pula qarinah yang akan menjelaskan maksudnya. Sedangkan Syari’ membiarkan saja kesamarannya tersebut tanpa ada penjelasan.

Mutasyabih itu ada dua bentuk :

Dalam bentuk potongan huruf hijaiah yang terdapat dalam pembukaan beberapa surat dalam Al-Qur’an. Ditinjau dari segi lafaznya potongan huruf ini tidak mengandug arti apa-apa. Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW tidak pernah menjelaskannya.

Ayat – ayat yang mengandung zhahir-nya mempersamakan Allah SWT dengan mahluk-Nya, sehingga tidak mungkin dipahami ayat itu menurut lughawi-nya. Karena Allah SWT Maha Suci dari pengertian demikian.

Misal : surat Al Fath (48) : 10

يدالله فوق ايديهم

Secara bahasa artinya : Tangan Allah di atas tangan mereka.

Kesimpulan tentang Lafaz Istinbath

Jadi pemahaman lafal dari segi arti terbagi menjadi dua, diantarany, lafal yang terang atau jelas artinya dan lafal yang tidak terang artinya. Lafal yang terang artinya terbagi menjad empat sub bagian, yaitu zahir, nash, mufassar dan muhkam. Dari keempat sub bagian tersebut menunjukkan tingkatan-tingkatan dari ke terangan atau kejelasan dari lafadz dilihat dari segi artinya. Begitu pula dengan lafadz yang tidak terang artinya. Terbagi pula menjadi empat sub bagian, yaitu, khafi, musykil, mujmal, mutasyabih. Sub bagian tersebut juga menunjukkan tingkatan-tingkatan ketidak terangan dari lafadz dilihat dari segiartinya

Demikian makalah ini kami buat dengan berbagai macam kekurangan. Mulai dari penulisan, susunan, referensi dan mungkin masih banyak lagi yang tidak dapat disampaikan. Besar harapan kami dari kelompok penyaji makalah dapat diberi apresiasi dan kesempatan kembali untuk menyusun makalah-makalah yang lain. Ribuan ungkapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang ikut serta membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun selalu kami harapkan demi perbaikan-perbaikan dilain kesempatan.

#nukilan asli: Fatma Seta (1112046100105), Dinda Ayu Pramesti (1112046100110), Alex Prasetiyo (1112046100138), Fakultas UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA

  • Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
  • Khallaf, Abdul Wahhab. 2000. Kaidah-kaidah hukum islam ilmu ushul fiqhi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul fiqh jilid II. Jakarta: Prenada Media Grup.
  • Uman, Khairul. 1989. Ushul fiqih II. Bandung: Pustaka Setia.

Catatan Kaki

1 Ma’luf, 1968:73

2 Ahmad Rofiq,. Istinbath hukum Ibnu Qayyim,. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007) ,. H.5.

3 Khairul Uman,. Ushul Fiqh 2,. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1989),. H.11.

4 Takwil ialah memalingkan lafadz dari zahirnya lantaran ada dalil.

5 Abdul Wahhab Khallaf,. Kaidah-kaidah Hukum islam ilmu Ushulul Fiqh,. (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2000),. H.257.

6 Satria Effendi,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Prenada Media, 2005),. H.220.

7 Abdul Wahhab Khallaf,. Kaidah-kaidah Hukum islam ilmu Ushulul Fiqh,. (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2000),. H.259.

8 Khairul Uman,. Ushul Fiqh 2,. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1989),. H.11.

9 Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Pranada Media Group, 2008),. H.6.

10 Abdul Wahhab Khallaf,. Kaidah-kaidah Hukum islam ilmu Ushulul Fiqh,. (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2000),. H.264.

11 Satria Effendi,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Prenada Media, 2005),. H.225.

12 Khairul Uman,. Ushul Fiqh 2,. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1989),. H.11.

13 Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Pranada Media Group, 2008),. H8-9.

14 Abdul Wahhab Khallaf,. Kaidah-kaidah Hukum islam ilmu Ushulul Fiqh,. (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2000),. H.269.

15 Satria Effendi,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Prenada Media, 2005),. H.225.

16 Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Pranada Media Group, 2008),. H12.

17 Khairul Uman,. Ushul Fiqh 2,. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1989),. H.11.

18 Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Pranada Media Group, 2008),. H.13.

19 Abdul Wahhab Khallaf,. Kaidah-kaidah Hukum islam ilmu Ushulul Fiqh,. (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2000),. H.271.

20 Satria Effendi,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Prenada Media, 2005),. H.227.

21 Khairul Uman,. Ushul Fiqh 2,. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1989),. H.16.

22 Satria Effendi,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Prenada Media, 2005),. H.228.

23 Abdul Wahhab Khallaf,. Kaidah-kaidah Hukum islam ilmu Ushulul Fiqh,. (Jakarta: Raja Grafindo Persada:2000),. H.280.

24 Khairul Uman,. Ushul Fiqh 2,. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1989),. H.18.

25 Satria Effendi,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Prenada Media, 2005),. H.228.

26 Amir Syarifuddin,. Ushul Fiqh,. (Jakarta: Pranada Media Group, 2008),. H.22.