Pengertian & Hukum Taqlid – Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at islam. Periode taqlîd adalah periode dimana semangat ijtihad mutlak para ulama sudah pudar dan berhenti. Semangat kembali kepada sumber-sumber pokok tasyri’, dalam rangka menggali hukum-hukum dari teks al-Quran dan Sunnah dan semangat mengistimbatkan hukum-hukum terhadap suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya dari nash dengan menggunakan dalil-dalil syara’, sudah pudar dan berhenti. Mereka hanya mengikuti hukum-hukum yang telah dihasilkan oleh imam-imam mujtahid terdahulu.

Periode taqlid mulai sekitar pertengahan abad IV H/X M. Pada masa ini pula terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kebangkitan umat Islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Semangat kebebasan dan kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan berpegang kepada fiqh imam-imam mujtahid terdahulu, yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan rekan-rekannya Mereka mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk memahami kata-kata dan ungkapan-unkapan para imam mujtahid mereka. Dan mereka tidak berusaha mencurahkan segenap kemampuannya untuk memahami nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya yang umum.

Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’ dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang membutuhkan hukum.

Taqlid dan Muqallidun

Berikut yang Akan Kita Bahas dalam Makalah Kali Ini:

  1. Apa pengertian dari Taqlid dan Muqallidun ?
  2. Bagaimana sejarah munculnya Taqlid ?
  3. Bagaimana faktor-faktor munculnya Taqlid ?
  4. Apa Gejala-gejala tasyri’ pada masa Muqallidun ?
  5. Apa sumber tasyri’ pada masa Muqallidun ?
  6. Bagaimana hukum Taqlid itu ?
  7. Bagaimana Kontribusi para ulama dan fuqaha’ pada masataqlid?
  8. Kapan terjadinya peride kejumudan dan kemunduran ?
  9. Apa faktor-faktor kemunduran fiqh pada masa tersebut ?

1. Pengertian Taqlid dan Muqallidun

Kata taqlid (تـقـلـيـد) mashdar dari qallada – yuqallidu (قَلَّدَ – يُقَلِّدُ). Secara bahasa adalah bermakna : meniru, mencontoh dan mengikuti. Adapaun secara istilah seperti disebutkan oleh Wahbah Zuhaili adalah sebagai berikut ;

التـقـليـدهـوأخـذ قـول الـغـيـرمـن غـيـرمـعـرفـة د لـيـلـه

Artinya : Taqlid ialah berpegang kepada pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.1

Sementara itu, Imam Al-Gazali sebagaimana dikutip oleh Muhammad Salam Madkur menyebutkan bahwa taqlîd itu ialah

قـبـول قــول بــلا حجـة

Artinya :Mengikuti suatu pendapat tanpa mengetahui hujjahny.2

Sedangkan Muqollidun adalah orang-orang yang berpegang kepada pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya.

Periode ini disebut sebagai periode taqlid karena para fuqaha’ pada zaman ini tidak dapat membuat sesuatu yang baru untuk ditambahkan kepada kandungan madzhab yang sudah ada, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali serta madzhab lain yang sudah mencapai tahap kemajuan dan sudah dibukukan bersamaan dengan ilmu-ilmu syar’I yang lain.3

Wahbah Zuhaili  menyebutkan, bahwa pada awal abad keempat Hijriyah, keadaan ini terus berlangsung pada abad-abad berikutnya. Hal ini terlihat, terutama  setelah berlalunya imam-imam yang empat dan melembaga serta mengakarnya mazhab yang empat dalam masyarakat.

Dengan munculnya sikap taqlîd dari para pengikut mazhab, maka semangat berijtihad di kalang ulama fiqih semakin hari semakin menurun dan berkurang yang pada akhirnya para ulama hanya mencukupkan dari pada pendapat-pendapat yang ada.4

2. Sejarah kemunculan Taqlid

Faktor yang menyebabkan para fuqaha’ memilih jalan taqlid adalah pergolakan politik yang menyebabkan Negara Islam terpecah menjadi Negara kecil, dimana setiap negeri mempunyai penguasa sendiri yang diberi gelar amirul mukminin.

Betapa lemahnya Negara Islam ketika Negara sudah terkena penyakit perpecahan menggantikan posisi persaudaraan dan keamanan.Negara yang besar terbagi menjadi beberapa Negara kecil.Di timur ada Negara Sasan dengan ibukota Bukhara, dan di Andalusia ada Negara kecil yang didirikan oleh Abdurrahman An-Nashir, demikian juga Negara Fatimiyah yang ada di utara Afrika.

Begitulah cerita hancurnya ikatan-ikatan Negara Islam, menjadi negeri-negeri kecil yang saling bermusuhan sehingga memudahkan musuh Islam untuk menghancurkan Negara Islam dan terjadilah Perang Salib.5

3. Faktor Kemunculan Taqlîd

Sebagian fuqaha’ yang memilki kapasitas untuk memahami, ber-istinbat dan berijtihad secara mutlak, hanya saja mereka berpaling dari kemandirian berfikir dan tidak mau membuat madzhab baru, serta sudah cukup dengan madzhab yang ada. Kemudian mereka pun ber-taqlîd dan mengikat pikiran mereka dengan semua prinsip serta masalah cabang yang ada dalam madzhab. Adapun sebab terjadinya taqlid , diantaranya adalah sebagai berikut :6

A. Pembukuan Kitab Madzhab

Fiqih Islam sudah ditulis dan dijadikan rujukan dalam menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah untuk diketahui secara cepat. Dan yang mendorong para ulama untuk berijtihad pada zaman itu karena ingin mengetahui hokum dari sebuah masalah yang baru muncul di tengah masyarakat yang belum ada hukumnya. Maka ketika para dan mendapatkan ulama pada periode ini dan mendapatkan segalanya sudah tersedia dan lengkap sehingga tidak ada lagi keinginan untuk berijtihad.Semua permasalahan yang dicari sudah ada jawabannya, baik masalah yang besar atau kecil sehingga tidak ada lagi hajat untuk kembali, semua madzhab sudah menyediakan hidangan fiqihnya.

B. Fanatisme Madzhab

Para ulama pada periode ini sibuk dengan menyebarkan ajaran madzhab dan mengajak orang lain untuk ikut dan berfanatik kepada pendapat fuqaha’.

Bahkan sampai kepada tingkat dimana seseorang tidak berani berbeda pendapat dengan imamnya, seakan kebenaran semuanya ada pada sang guru kecuali beberapa ulama yang tidak ikut-ikutan seperti Abu Al-Hasan Al- Khurkhiy dari ulama Hanafiyah, bahkan ada yang berani mengatakan, “ Setiap ayat yang bertentangan dengan pendapat madzhab kami maka ayat itu perlu ditakwilkan atau dihapuskan, “ termasuk juga hadis Nabi SAW. Inilah bentuk pemikiran yang tersebar pada saat itu yang disebabkan oleh loyalitas kepada imam secara berlebihan, yang kemudian menutup mata mereka dari ijtihad.

Sebab, jika ia sudah meyakini sebuah doktrin, berlabuh dalam lautannya, berdiri tegak tidak mau beranjak, segala keputusan ada padanya, dan pada akhirnya inilah bentuk sebuah kejumudan (kebuntuan) berpikir.

C. Jabatan Hakim

Para khalifah biasanya tidak memberikan jabatan hakim, kecuali kepada mereka yang memang mumpuni dalam bidang ilmu Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW serta memiliki kemampuan untuk berijtihad dan menggali hokum. Dan manhaj para khalifah dalam meminta para hakim agar dapat memutuskan perkara harus berdasarkan kepada Al-Qur’an, sunnah Rasul-Nya, dan logika yang dekat dengan kebenaran. Buktinya surat yang ditulis oleh Umar bin Khattab kepada hakimnya, Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata kepadanya, “ Jabatan hakim itu adalah sebagai kewajiban yang sudah ditetapkan dan warisan yang diikuti, maka pahami dan pahami setiap masalah yang disampaikan kepadamu yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan sunnah, kemudian tetapkanlah yang ada kemiripan, dan carilah yang sepadan, kemudian peganglah yang kamu lihat lebih dicintai Allah dan lebih dekat kepada kebenaran.”

Namun, ketika kondisi sosial sudah berubah bersama dengan pergeseran waktu, para khalifahpun lebih mengutamakan para hakim yang hanya bias ber-taqlîd , ikut pada pendapat madzhab tertentu yang sudah ditetapkan oleh khalifah. Inilah salah satu penyebab mengapa orang yang akan menjabat sebagai hakim harus mengikuti salah satu madzhab dan tidak melangkahinya.

D. Ditutupnya Pintu Ijtihad

Petaka besar menimpa fiqih Islam pada periode ini dimana kesucian ilmu ternodai, orang-orang berani berfatwa, menggali hokum sedangkan mereka sangat jauh dari pemahaman terhadap kaidah dan dalil-dalil fiqih yang pada akhirnya mereka berbicara tentang agama tanpa ilmu. Keadaan ini memaksa para penguasa dan ulama untuk menutup pintu ijtihad pada pertengahan abad keempat hijriyah agar mereka yang mengklaim diri sebagai mujtahid tidak bias bertindak leluasa dan menyelamatkan masyarakat umum dari fatwa yang menyesatkan.

Akan tetapi sangat disayangkan, larangan ini telah memberi efek yang negative terhadap fiqih Islam sehingga menjadi jumud dan ketinggalan zaman.Seharusnya, para fuqaha’ periode ini meletakkan beberapa aturan yang bisa digunakan untuk membantah pendapat ulama gadungan tersebut.Salah satunya dengan menjelaskan dalil dan bukti yang menyingkap aib mereka di depan orang banyak, dan melarang masyarakat untuk mengikutinya karena fatwa mereka tanpa ilmu dan menyesatkan dan bukan menutup pintu ijtihad. Andaikan hal ini mereka lakukan, niscaya mereka telah memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan fiqih Islam dan lebih baik daripada menutup pintu ijtihad sama sekali.7

E. Pergolakan Politik,

Chaos politik telah mengakibatkan terpecahnya Negeri Islam menjadi beberapa Negara kecil, sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan perang, fitnah-memfitnah, dan hilangnya ketentraman masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah kurangnya perhatian ilmu pengetahuan.

F. Fanatisme Madzhab Baru

Pada fase ketiga (pembangunan, pengembangan dan kodifikasi hukum Islam) telah timbul madzhab-madzhab yang mempunyai manhaj dan cara berfikir tersendiri dibawah seorang Imam mujtahid. Sebagai kelanjutannya ialah bahwa pengikut-pengikut madzhab tersebut berusaha membela madzhabnya sendiri dan memperkuat dasar-dasar madzhab maupun pendapat-pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan-alasan kebenaran pendirian madzhabnya dan menyalahkan pendirian madzhab lain. Situasi ini menyibukkan para ulama madzhab dan membelokkan mereka dari asas pembentukan hukum yang pertama, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah, dan sedikit diantara mereka yang berhasrat kembali pada nash al-Qur’an dan as-Sunnah kecuali hanya untuk memperkokoh madzhab yang dianutnya, walaupun harus menempuh penyimpangan dalam memahami dan menta’wilkannya. Demikian tenggelamlah kepribadian seorang alim dalam golongannya dan matilah semangat kemerdekaan berfikir, sehingga jadilah mereka itu sebagai pengikut dan muqollîdun.8

7. Kodifikasi Pendapat Madzhab

Kodifikasi pendapat-pendapat madzhab telah memudahkan seseorang untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dihadapinya. Pada fase-fase sebelumnya, para fuqoha terpaksa harus berijtihad karena dihadapkan pada hal-hal yang tidak ada hukumnya dalam syara’. Setelah hasil ijtihad mereka kumpulkan dan mereka bukukan, baik untuk hal-hal yang terjadi maupun yang kemungkinan akan terjadi, maka orang-orang sesudah mereka hanya mencukupkan dan merasa puas dengan pendapat yang telah ada. Dengan demikian menjadi bekulah pemikiran fiqh.9

D. Faktor-Faktor Penyebab Ijtihad dan Maraknya Taqlid

Menurut AbdulWahab Khalaf, faktor-faktor penyebab terjadinya ijtihad dan maraknya taqlid adalah sebagai berikut :

  1. Terbagi-baginya daulah Islamiyah ke dalam kerajaan-kerajaan yang saling bermusuhan. Situasi dan kondisi seperti ini melahirkan masa krisis yang melemahkan semangat keilmuan dan kesenian. Krisis ini juga menyebabkan terhentinya Tasyri’.
  2. Terpecahnya para imam mujtahid menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan memiliki hukum dan khiththah tersendiri. Adakalanya dalam rangka membela madzhab, masing-masing golongan mengemukakan argumentasi sambil mengedepankan kekeliruan madzhab lain. Dengan demikian kepribadian seorang alim ulama hancur dan semangat kemeerdekaan berpikir menjadi terhenti. Orang-orang alim menjadi seperti orang-orang awam.
  3. Umat Islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan. Di sisi lain, mereka juga tidak mampu merumuskan peraturan yang dapat menjamin agar orang yang ikut berijtihad hanya orang yang memang ahli di bidangnya (akhir abad IV H). Dengan demikian, terjadilah krisis pembentukan hukum dan ijtihad.
  4. Ulama dilanda penyakit iri, egois, dan sombong, sehingga mereka tidak dapat sampai pada tingkat mujtahid. Jika salah satu diantara mereka ada yang mencoba berijtihad, ia membanggakan ijtihadnya dan merendahkan potensi kawan-kawannya. Sementara itu, ulama yang lain menolak ijtihadnya dan berupaya menjatuhkannya.

Kondisi seperti itu membuat kecerdasan ulama menjadi tumpul.Mereka menjadi kurang percaya diri. Akhirnya, mereka hanya bertaqlîd dan menukil pendapat dari ulama terdahulu.10

E.  Gejala Tasyri’ pada Masa Muqollidun

Tidak diragukan lagi, bahwasannya pada setiap periode terdapat para mujtahid (orang-orang yang berijtihad) dan para muqollid (orang-orang yang mengikuti tanpa mengetahui dasarnya). Para mujtahid adalah para fuqoha’ yang mempelajari Al-Kitab dan al-Sunah dan mereka mempunyai kemampuan untuk mengistimbathkan hukum-hukum dari zhahir nash atau dari apa yang tersirat padanya.11

Para muqollid adalah orang-orang umum yang tidak mempelajari al-Kitab dan al-Sunnah sehingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath, apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa, mereka datang kepada seorang fakih di negeri mereka untuk minta fatwa. Adapun pada periode ini, ruh taqlîd berjalan secara umum dan dalam hal itu para jumhur ulama berijtihad. Setelah orang yang menghendaki fiqh pada mulanya sibuk mempelajari al-Qur’an dan riwayat al-Sunnah yang keduanya adalah asas istimbath, lalu dia mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari jalannya, yang dengan jalan itu imam tersebut membukukan hukum-hukum.Apabila ia telah menyempurnakan hal itu maka ia termasuk ulama yang ahli fikih (fuqaha’).12

Sebagian dari mereka ada yang bercita-cita tinggi lalu dia menyelisihi suatu kitab tentang hukum-hukum imamnya, adakalanya mengikhtisarkan terhadap karangan yang terdahulu atau yang mensyarahkan atau mengumpulkan terhadap sesuatu yang terpisah pada kitab yang berlain-lainan, dan salah seorang dari mereka tidak memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu masalah dengan pendapat yang bertentangan dengan apa yang difatwakan oleh imamnya, seolah-olah kebenaran itu turun pada lidah dan hati imamnya sehingga peninjau fuqoha Hanafiyah pada periode ini, dan imam mereka dengan tidak menentang yaitu Abul Hasan Ubaidullah Al Karchi berkata: “Setiap ayat yang diselidiki oleh teman-teman kami maka dia dita’wilkan atau mansukh dan demikian juga setiap hadits dita’wil atau mansukh”. Dengan seperti inilah mereka memberi hukum kepada orang lain dan terbukalah pintu memilih pendapat.

Tidak diragukan bahwa diantara fuqaha periode ini terdapat imam-imam besar dan penuturan sebagian dari mereka segera datang dan tidak terduga bahwa mereka kurang mengetahui pokok-pokok tasyri’ dan jalan istimbath dari pada orang-orang yang mendahului mereka. Namun mereka tidak mempunyai kemerdekaan yang disenangi oleh orang-orang yang terdahulu.Asy-Syafi’i rahimahullah mempunyai kemerdekaan dalam beristimbath sehingga mudah baginya untuk berpendapat dengan sesuatu yang tampak baginya dan tidak ada penghalang yang menghalanginya untuk merubahnya manakala besok harinya tampak dalil yang menghendaki perubahan.

Demikian juga imam-imam yang lain. Kemerdekaan itu juga dimiliki oleh para sahabat dan thabi’in.Umar bin Khattab r.a. memutuskan dengan terhalangnya saudara-saudara kandung yang bersamaan dengan saudara seibu, ibu dan suami, pada tahun berikutnya ia menggabungkan (menjadikan berserikat) diantaranya seluruh saudara-saudara itu dalam sepertiga harta seraya berkata: “Itu adalah sesuatu yang pernah kami putuskan dan ini adalah sesuatu yang sekarang saya putuskan”.13

Adapun ulama periode ini, masing-masing dari mereka menetapi madzhab tertentu dan tidak dilampauinya serta mengerahkan kemampuan yang dikaruniakan Tuhan untuk menolong madzhab itu baik secara global maupun terperinci, padahal tidaklah tergores dalam hati tokoh-tokoh itu akan sahnya ‘ishmah (terpelihara dari dosa) bagi imam manapun dalam ijtihadnya.

Para imam itu sendiri mengakui kemungkinan salah (keliru) pada diri mereka dan kemungkinan di sana ada sunah lain yang tidak mereka lihat sehingga tidak hanya seorang dari mereka menyemarakkan kalimat yang ini yang Artinya:

“Apabila hadits itu shahih maka dialah madzhabku, dan jadikanlah perkataanku sebagai luas pagar”.

Oleh karena itu, Al-Karkhi berkata: “Setiap hadits yang bertentangan dengan sesuatu yang ada pada teman-teman kami maka sesuatu itu ditakwili atau dimansukh”. Dalam terjemah Ibnu Subki karya Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf Al Juwaini ayah Imamul Haromain bahwasannya ia memulai dalam suatu kitab yang disebutnya Al Muhith, di situ ia bermaksud meniadakan keterkaitan dengan madzhab dan ia berhenti dan tidak melampaui terhadap apa yang dibawa oleh Al-Hadits serta menghindari segi-segi fanatik kepada madzhab, Al Hafizh Abu Bakar Al Baihaqi membuat tiga jilid. Didalamnya ia mengkritik sangkaan-sangkaan baru dan ia menerangkan kepadanya bahwa orang yang mengambil hadits yang manquf padanya adalah Asy Syafi’i r.a. dan sesungguhnya kebenciannya terhadap Al Hadits yang dibawa oleh Syaikh Abu Muhammad karena didalamnya terdapat illat-illat yang diketahui oleh orang yang meneliti dalam pekerjaan hadits.14

Ketika risalah itu sampai kepada Syaikh Abu Muhammad ia berkata: “Ini adalah berkah ilmu dan ia mendoakan untuk Al Baihaqi dan meninggalkan penyempurnaan karangan. Kemudian Ibnu Subki membenarkan kesalahan-kesalahan Risalah Al Baihaqi walaupun Asy Syafi’i memperdengarkan teguran ini sebagai suatu ijtihad untuk dirinya. Dalam membenarkan hadits-hadits, ia berpegang atas tokoh-tokoh hadits yang terpercaya yang membedakan antara hadits shahih dan berpenyakit. Dan tidaklah patut apa yang disebutkan oleh Al- Baihaqi karena Al Juwaini meninggalkan sesuatu yang disyari’atkan selama ia mempunyai kemampuan untuk beristimbath dan jiwanya mantap untuk merdeka (bebas).

F. Sumber Tasyri’

  1. Al-qur’an
  2. Hadist
  3. Ijma’
  4. Qiyas
  5. Pendapat Imam Madzhab.

G. Hukum Taqlid

1. Taqlid yang haram

Para ulama’ sepakat bahwa haram melakukan taqlid yang semacam ini.

Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits.

Contohnya ialah menurut adat kebiasaan dan perkataan orang-orang dahulu, jika seseorang melakukan tirakatan selama tujuh malam di makam A, maka ia akan memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Adat kebiasaan dan perkataan ini diikuti orang, sedang kebenarannya tidak terdapat dasarnya dalam al-Quran  dan hadits. Maka Allah menyatakan dalam firmanNya yang artinya:

“Dan apabila dikatakan kepeda mereka : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka menjawab:’’(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari(perbuatan) nenek moyang kami’.(Apakah mereka mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (Q.S.Al-Baqarah 2:170).

2. Taqlid yang dibolehkan

Taqlid yang dibolehkan yaitu, bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui mengenai hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu. Dengan perkataan lain bahwa taqlîd itu hanya untuk sementara saja.

Termasuk taqlid yang ke-dua ini yaitu, taqlîd sebagian mujtahid kepada mujtahid yang lain.Taqlîd ini dilakukan selama belum diketahui dalil yang kuat yang dapat dijadikan untuk memecahkan persoalan itu. Termasuk pula di dalamnya taqlîd orang awam kepada ulama’ yang dipercayainya, selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat-pendapat ulama’ yang diikutinya itu.

Sehubungan dengan ini Ad Dahlawi berkata: Taqlid yang dibolehkan adalah taqlîd dalam arti mengikuti pendapat seorang alim, karena belum nyata hukum Allah dan Rasulnya namun akan segera meninggalkan pendapat itu bila ternyata berlawanan dengan hukum Allah RasuNya. Hal semacam inilah yang berlaku dikalangan umat Islam sejak zaman Nabi.

Pendapat Ulama Mutaakhirin tentang Taqlid

Sekalipun para imam mujtahid seperti imam Abu Hanifah, Malik, As-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan sebagainya tidak mengharuskan orang bertaqlîd kepada pendapat mereka. Namun para ulama’ mutaakhirin dalam kaitan bertaqlîd kepada imam, terlebih dahulu membagi kelompok masyarakat menjadi dua yaitu:15

1. Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu dari keempat madzhab tersebut.

2. Golongan yang memenuhi syarat-syarat ijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama yang berpendapat demikian antara lain:

  1. Al-Adhud (wafat 573 H.).
  2. Ibnu Hajib(wafat 646 H.)
  3. Ibnu Subki (wafat 771 H.)
  4. Al Mahali (wafat 886 H.)

Mereka menyatakan bahwa ada dua macam arti taqlid :

1)      Taqlid dengan arti lughawi (bahasa), yaitu beramal atau mengikuti pendapat seorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pendapat itu.

2)      Taqlid dengan arti ‘urfi (populer), yaitu beramal  atau mengikuti pendapat seseorang, sedang dasar dari pendapat itu  tidak diketahui dengan sempurna.

Ulama’ tersebut mewajibkan kaum muslimin melaksanakan taqlid ‘urfi ini. Sedang golongan ‘awam (orang-orng yang bukan mujtahid) harus bertaqlîd kepada mujtahid atau kepada orang ‘alim yang meriwayatkan pendapat pendapat mujtahid.

Adapun orang yang mempunyai kesanggupan untuk mengistimbatkan hukum (mujtahid) mereka dilarang bertaqlîd , dengan arti bahwa tidak boleh mengikuti langsung perkataan seorang mujtahid, tetapi harus difikirkan terlebih dahulu untuk mengetahui sampai dimana kebenaran pendapat itu. Jika benar dikuti, tetapi jika salah ditinggalkan.16

3. Taqlid yang diwajibkan17

Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw.

4. Taqlid yang berkembang

Taqlid yang berkembang sekarang terutama di Indonesia, ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam mujtahid yang terkenal. Sebagaimana yang  diketahui imam-imam mujtahid yang terkenal dan telah diakui oleh kaum muslimin sebagai imam mujtahid yang  boleh diikuti.

Jamaludin Al-Qasimi (wafat 1332 H.) menyatakan bahwa  segala perkataan atau pendapat dalam satu madzhab  yang tidak berasal dari pendapat atau perkataan imam madzhab itu sendiri tidak dapat dipandang sebagai  madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan  dari pendapat  atau orang yang mengatakan perkataan itu.

Maka barang siapa yang bertaqlid kepada imam As-Syafi’i, tentulah kitab al-Umm sebagai rujuknya. Apa yang ada di dalamnya  ia pegangi  dan apa yang tidak ada di dalamnya ia tinggalkan, karena tidak boleh bertaqlid kepada muqallid (pengarang kitab yang menyatakan dirinya termasuk pengikut madzhab As-Syafi’i). Telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh bahwa hanya  boleh bertaqlîd kepada mujtahid, tidak kepada yang lain.

H. Kontribusi para ulama dan fuqaha’ pada masa taqlid

pengertian taqlid dan hukumnya (gbr hanya ilustrasi)

Upaya-upaya yang dilakukan oleh para ulama masa ini hanya memperluas pemahaman mazhab yang diikuti mereka, hal ini membuat kajian fiqh mazhab semakin dalam dan terperinci, luas, dan sistematik. Disini ada beberapa upaya yang telah dilakukan oleh para ulama dan fuqaha’, diantaranya :

1. Ta’lil (Rasionalisasi Hukum Hukum Fiqh)

Pada masa ini, para fuqaha’ mazhab mengkaji, berijtihad, dan mengistimbat illat hukum fiqh yang diwariskan oleh imamnya. Dengan cara ini mereka dapat menentukan hukum bagi maslah baru yang tidak sempat dibahas oleh para imam mazhab sebelumnya. Setelah itu, hasil dari kajian tersebut dinisbatkan kepada pendapat mazhab karena dasarnya diambil dari fiqh mazhab.

Hasil ijtihad ini bukanlah ijtihad mutlak tapi ijtihad khusus yang berputar disekitar mazhab tertentu, yaitu dinamakan Ushul Takhrij dan mereka dinamakan imam Takhrij. Fuqaha’ Hanafiyah lah yang paling banyak menggunakan konsep eksplorasi illat-illat hukum dan membahas tentang ushul mazhab Hanifah.

Adapun yang mendorong ulama Hanafiyah untuk melakukan hal ini adalah adanya debat dan diskusi ilmiah yang mereka lakukan dengan ulama-ulama Syafi’iyah tentang masalah fiqh.Dalam hal ini, para fuqaha’ Syafi’iyah, mereka mendapati semua pendapat imam mereka penuh dengan illat dan dalil. Oleh karena itu mereka tidak perlu lagi mencari prinsip dasar mazhab sang imam dan illat-illat hukum kepada masyarakat.

Menggenai fuqaha’ mazhab Malikiyah dan Hanabilah, mereka belum memberikan perhatian dalam masalah ini secara serius karena mereka jauh dari medan diskusi dan debat ilmiah seperti yang dialami oleh fuqaha’fuqaha’ lainnya.

2. Tarjih (penguatan)

Tarjih disini terbagi dalam dua jenis, yaitu :

2.a. Tarjih dari aspek riwayat

Nukilan pendapat seorang imam mazhab dala satu masalah tertentu kadang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh :

  1. Kesalahan dalam menukil;
  2. Terkadang seorang imam memberi fatwa terhadap suatu maslah dan kemudian menariknya karena telah ditemukan dalil yang mendasarinya.

2.b. Tarjih dengan Dirayah

Yaitu dengan melakukan komparasi antara pendapat-pendapat mazhab dari sang imam atau dari muridnya dalam suatu masalah tertentu.Tarjih jenis ini sangat tergantung ada skill fiqh, pemahaman, dan kemampuan beristimbat serta pemahaman yang sempurna tentang kaidah dan penjabarannya.

3. Upaya pembelaan mazhab dan penulisan fiqh perbandingan

Diskusi dan debat yang dilakukan oleh para fuqaha’ menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan secara umum dan fiqh islam khususnya, jika debat dan diskusi ini ditujukan untuk mencari kebenaran.

Akan tetapi, fiqh pada masa ini berubah haluan. Dimana masing-masing fuqaha’ mazhab sibuk mamperjuangkan mazhabnya sendiri dengan menempuh dua cara berikut :

Pertama, menulis buku tentang keutamaan imam

Penulisan ini mencakup pada kelebihan yang dimiliki oleh sang imam dalam bentuk syair dan prosa yang disebarkan kepada masyarakat dengan harapan mereka memberikan loyalitas kepada imamnya.

Kedua, penulisan kitab-kitab fiqh perbandingan

Hal ini termasuk pada masalah khilafiyah diantara ara fuqaha’ mazhab dengan metode sebagai berikut:

  1. Menyebutkan satu masalah dan hukumnya pada setiap mazhab
  2. Menyebutkan dalil hukumnya disetiap imam
  3. Lalu membandingkan semua dalil yang ada dan kemudian men-Tarjih dalil mazhab mereka apapun kondisinya.

Dari hal-hal tersebut ternyata menimbulkan rasa fanatik dan keinginan memenangkan mazhab sendiri, hal ini berlainan dengan tujuan semula yaitu kebaikan tanpa ada rasa fanatik mazhab.

I. Nilai Positif pada masa Taqlid

Para ulama pada masa ini memiliki jasa yang sangat besar dalam menyempurnakan fiqh mazhab karena mereka berhasil menggali illat-illat hukum, men-Tarjih pendapat yang kuat, dan menuliskan semuanya dalam kitab-kitab fiqh yang menjadi rujukan bagi mereka yang datang setelah itu.

J. Periode Kejumudan dan Kemunduran18

Periode ini dimulai sejak tahun 656 H, ketika kota Bagdad jatuh ketangan tetara Mongol dan berakhir pada abad ke-13.

1. Kondisi fiqh masa ini

Pada fase ini kondisi fiqh islam sangat buruk sekali, hal ini disebabkan karena para ulama periode ini telah beralih profesi menjadi taqlid buta, artinya mereka tidak lagi mencari illat, menggali fiqh, dan berijtihad. Selain itu semangat untuk menulis buku juga sangat minim, dan hanya terbatas pada apa yang telah mereka temukan pada kitab pendahulu lalu dihafal dan dikaji.

Akibatnya, apa yang mereka hasilkan sangat berbeda dengan pendahulu mereka. Jika para pendahulu mereka membuat uraian, ta’lil hukum, men-Tarjih pendapat yang kuat dan memilih pendapat yang ditopang oleh dalil, namun pada masa ini semuanya serba ringkas dan terbatas.

2. Kontribusi Fuqaha’ pada periode ini

2.a. Penulisan Matan (teks)

Penulisan matan ini telah menjadi tren pada periode ini bahkan menjadi kosentrasi fuqaha’, bahkan ada yang mengatakan “siapa yang menghafal matan (teks), maka ia akan mendapatkan banyak ilmu”. Jenis penulisan ini muncul pada fase kedua dari periode ini.

2.b. Penulisan Syarh (penjelasan), Hasyiyah (catatan pinggir), dan Ta’liq (komentar)

Untuk memahami sebuah matan perlu adanya syarh (penjelasan) yang bisa menjelaskan maksud dari teks tersebut dan terkadang penjelasan tidak cukup sehingga perlu adanya catatan kaki.Metode ini merupakan metode yang rumit dengan berbagai rumus dan diperlukan stamina yang kuat untuk mendalami metode ini.

3. Dampak Kejumudan terhadap Fiqh Islam

  1. Ketidakberdayaan fiqh Islam untuk menjawab persoalan yang muncul.
  2. Jalan menjadi terpecah di depan pengkaji ilmu fiqh yang disebabkan karena banyaknya karya-karya yang sulit untuk dipahami, dan adanya aturan fiqh mazhab yang membelenggu kebebasan pelajar sehinggatidak ada pembaharuan dan penemuan baru.
  3. Masyarakat dan penguasa sebagian negeri Islam berpaling dari fiqh Islam dan memakai konsep undang undang konvensional sebagai rujukan dalam urusan pribadi dan pemerintahan. Dengan demikian, syariat islam menjauh dari kehidupan, padahal sebelumnya syariat Islam menjadi sumber perundangan.

4. Kelahiran para Mujaddid (pembaru)

Diantara Mujaddid yang lahir pada periode ini adalah:19

  1. Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah yang bergelar Taqiyuddin, (wafat 728 H)
  2. Muridnya Imam Abu Muhammad bin Abi Bakar Syamsuddin bin Al-Qayyim Al-Jauziyah, (wafat 751 H)

Keduanya merupakan ulama yang paling terkemuka dalam mazhab Hanabilah dan sangat berjasa membangun mazhab Hanabilah serta menyeru kepada ijtihad, mencela Taqlîd , dan mengajak kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah nabi.

5. Sumbangsih dan karya tulis ilmiah para ulama dan fuqaha’ pada periode ini.

a. Kitab-Kitab Himpunan Fatwa

Kitab ini menghimpun fatwa para ulama dizamannya, terutama ulama yang sudah mencapai derajat ijtihad lalu diberi kedudukan sebagai mufti secara resmi, dan pendapatnya ditulis dalam buku fiqh.

Contoh: Al-Fatwa Al-Bazzaziyah ditulis oleh Muhammad bin Muhammad Syihabuddin.

b. Kitab Himpunan Kaidah Fiqh

Diantaranya adalah kitab Qawaid Fiqhiyah yang membahas tentang kaidah-kaidah umum dalam hukum islam.

Beberapa kitab kaidah fiqh berdasarkan beberapa mazhab:

1. Mazhab Hanafi

  1. Ushul Imam Abi Al-Hasan, karya Al-Kurkhi (wafat 340 H)
  2. Ta’sis An-Nazhar, karya Ad-Dabbusi (wafat 430 H)
  3. Al-Asybah wa An-Nazhair, karya Ibn Nujaim (wafat 970 H)

2. Mazhab Maliki

  1. Anwar Al-Buruq fi Anwa’i Al-Furuq, karya Al-Qarafi (wafat 682 H)
  2. Al-Qawaid fi Fiqh Al-Malikiyyah, karya At-Tilmisani (wafat 874 H)
  3. Al-Qawaid fi Fiqh Al-Malikiyyah, karya Al-Muqri

3. Mazhab Hanbali

  1. Al-Qawaid Al-Kubradan Al-Qawaid Ash-Shughra, karya Imam SulaimanAth-Thurfi Al-Hanbali (wafat 710 H)
  2. Al-Qawaid An-Nuraniyyah Al-Fiqhiyyah, karya Imam Ibnu Taimiyah
  3. Al-Qawaid, karya Imam Abu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H)
  4. Al-Qawaid wa Al-Fawa’id Al-Ushuliyyah, karya Imam Ibnu Lahhan Al-Hanbali (wafat 803 H)

4. Mazhab Syafi’i

  1. Al-Qawaid Al-Kubra, karya Al-Izz bin Abdissalam
  2. Al-Asybah wa An-Nazhair, karya Imam As-Sayuthi (wafat 911 H).

K. Faktor Kemunduran Fiqh pada Masa Ini20

Pergolakan politik dalam tubuh negara Islam, musuh menguasai kaum muslimin dan orang asing yang memimpin kaum muslimin tersebut. Selain berdampak lemah pada pemerintahan, hal ini jugamelemahkan ilmu pengetahuan (fiqh Islam).

Para zaman ini fuqaha’ lebih memperhatikan warisan fiqh mazhab dan mengajak masyarakat mengikutinya, berfanatik dan menghujat orang yang berbeda pendapat dengannya.

Para fuqaha’ membatasi geraknya dan tidak mau berijtihad.

Munculnya beberapa buku yang sarat dengan rumusan yang perlu dipecahkan, sehingga masyarakat lupa akan buku warisan yang berharga, gaya bahasanya mudah dipahami dan penjelasannya mudah dicerna.

Kesimpulan tentang Taqlid dalam Islam

Berdasarkan keterangan diatas Taqlid ialah berpegang kepada pendapat orang lain yaitu para imam mazhab tanpa mengetahui dalilnya atau dasar yang menguatkan pendapat tersebut. Dengan munculnya sikap taqlîd dari para pengikut mazhab, maka berakibat menurunnya semangat berijtihad di kalang ulama fiqih dari hari ke hari dan pada akhirnya para ulama hanya mencukupkan dari pada pendapat-pendapat yang ada serta tidak ada pencetusan ide-ide atau ijtihad baru yang membangun.

Kemudian mengenai Kemunculan Taqlid pada masa ini di pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :Pembukuan Kitab Madzhab sebagai akibat terlalu fanatiknya fuqaha’ pada imam mazhab, kemudian pada periode ini raja yang memerintah mewajibkan para hakim untuk menggunakan salah satu mazhab yang di yakini oleh kerajaan tersebut, sehingga hakim seperti peliharaan kerajaan yang harus patuh pada raja. Kemudian, Di tutupnya pintu Ijtihad yang disebabkan karena kefanatikan fuqaha’ pada imam mazhab dan jabatan kehakiman. Dan yang terakhir yaitu, pergolakan politik yang disebabkan karena pembukuan fatwa mazhab yang menimbulkan saling sikut dan saling bermusuhan antar satu mazhab dan mazhab lain.

Gejala-Gejala Tasyri’ masa Mukhallidun yaitu Kerja keras ulama muqallidun ini terbatas pada perilaku memuja-muja karya ulama madzhab, mengkultuskannya, dan bahkan berusaha menciptakan suasana yang membawa keilmuan meraka lebih di fokuskan pada persiapan-persiapan membangun dan mengokohkan argumentasi-argumentasi logis yang dapat menjaga dan melindungi kebenaran hasil ijtihad masing-masing para ulama madzhab tersebut.

Hukum Taqlid ada bermacam-macam, anatara lain :Taqlid yang di haramkan, di bolehkan , dan di wajibkan.Periode Kejumudan dan Kemunduran yaituPeriode ini dimulai sejak tahun 656 H, ketika kota Bagdad jatuh ketangan tetara Mongol dan berakhir pada abad ke-13.

Saran-saran

Makalah ini hanya sebagian kecil saja menguraikan tentang ‘Gejala-gejala Tasyri’ masa Muqallidun. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan saran  yang sifatnya membangun dari para pembaca. Akhirnya penyusun  mengucapkan Alhamdulillah atas terselesaikannya makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Bik, Hudhari, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhya’. 1980.
  2. Khalil, Rasyad Hasan.TARIKH TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam. Jakarta:Taruna Grafika. 2009.
  3. Khon, Abdl Majid. Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejara embinn Hukum Islam dari Masa ke Masa.Jakarta:Imprnt Bumi Aksra. 2013.
  4. Madkur, Muhammad Salam.Al-Ijtihad Fi al-Tasyīr’ al-Islami. Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah. Cet. I, 1984.
  5. Mu’in, dkk, Ushul Fiqh II, Jakarta: 1986.
  6. Roibin, Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Malang: UIN-Malang Press. 2010.
  7. Zuhaili, Wahbah.Ushul al-Fiqh Al-Islam, Jilid II.Damaskus : Dar al-Fikr Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi wa al-Nasyar, Cet. I, 1986.

#nukilan

Catatan Kaki

1 Wahbah Zuhaili. Ushul al-Fiqh Al-Islam, Jilid II. ( Damaskus : Dar al-Fikr Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi wa al-Nasyar, Cet. I, 1986), h.1120

2Muhammad Salam Madkur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyīr’ al-Islami, (Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah. Cet. I, 1984), h. 170-171.

3 Dr.Rasyad Hasan Khalil,TARIKH TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,(Jakarta:Taruna Grafika, 2009),h.117

4 Wahbah Zuhaili. Ushul al-Fiqh Al-Islam, Jilid II. ( Damaskus : Dar al-Fikr Lit-Tiba’ah wa al-Tauzi wa al-Nasyar, Cet. I, 1986), h.1120

5 Dr.Rasyad Hasan Khalil,TARIKH TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,(Jakarta:Taruna Grafika, 2009),h.117

6Muhammad Salam Madkur, Al-Ijtihad Fi al-Tasyīr’ al-Islami, (Kairo : Dar al-Nahdah al-Arabiyah. Cet. I, 1984), h. 135-140

7 Dr.Rasyad Hasan Khalil,TARIKH TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,(Jakarta:Taruna Grafika, 2009),h.119

8Dr. H. Roibin, Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,(Malang: UIN-Malang Press,2010), h. 74

9 Dr. H. Roibin, Penetapan Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah,(Malang: UIN-Malang Press,2010), h. 94

10 Dr.H.Abdl Majid Khon, M.Ag,Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejara embinn Hukum Islam dari Masa ke Masa,(Jakarta:Imprnt Bumi Aksra,2013),h. 150-151

11Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, (Semarang: Darul Ikhya’, 1980), h. 524.

12 Ibid,h.524

13 Ibid,h.525

14 Ibid, hal 526

15Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’ (sejarah legislasi hukum Islam). (Jakarta : AMZAH, 2009), h. 145-147

16 Mu’in, dkk, Ushul Fiqh II, (Jakarta: 1986),  h. 157

17Dr.Rasyad Hasan Khalil,TARIKH TASYRI’ Sejarah Legislasi Hukum Islam,(Jakarta:Taruna Grafika, 2009),h.176

18Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’ (sejarah legislasi hukum Islam). (Jakarta : AMZAH, 2009), h. 121 – 130.

19Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’ (sejarah legislasi hukum Islam). (Jakarta : AMZAH, 2009), h. 127-128

20Rasyad Hasan Khalil. Tarikh Tasyri’ (sejarah legislasi hukum Islam). (Jakarta : AMZAH, 2009), h. 131.