Dilalah – Dalam melakukan istimbath hukum dan upaya yang dilakukan oleh para Mujtahid untuk memahami nash tidak saja memperhatikan apa yang tersurat yaitu bentuk lafal nash dan susunan kalimatnya, tetapi juga memperhatikan yang tersirat, seperti isyarat yang terkandung dibalik lafal nash serta begitu pula dengan dalalahnya.
Berkenaan dengan cara penunjukan dilalah lafal nash ini, ternyata dikalangan ulama ushul fiqh terdapat perbedaan cara atau metode dalam penunjukan nash yang mereka tempuh.
Menurut ulama Hanafiah, membagi dilalah kepada dua macam yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu lafzhiyah. Dalam metode penunjukan nash dilalah lafzhiyah terbagi menjadi 4 yaitu ibarah al-nash, isyarah al-nash, dalalah al-nash, dan iqtida’al-nash.
Sedangkan menurut ulama mutakallimin, membagi dilalah dalam metode penunjukan nash kepada dua macam yaitu manthuq dan mafhum.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai istilah-istilah tersebut serta cara bagaimana penunjukannya.
Dilalah atau Dalil
Makalah ini di susun menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Pengertian umum tentang dilalah.
2. Pembagian dilalah yang ditinjau dari segi bentuk dalil.
3. Metode lafaz dilalah (penunjukan) nash atas hukum menurut ulama Hanafi.
4. Metode lafaz dilalah (penunjukan) nash atas hukum menurut ulama Mutakallimin.
5. Pembagian macam-macam mafhum menurut ulama Mutakallimin.
6. Berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
7. Syarat berhujjah dengan mafhum mukhalafah.
1. Pengertian Umum Tentang Dilalah
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Arti dilalah secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan pertama disebut “madlul” (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri. Kata “sesuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil” (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum,dalil itu disebut “dalil hukum”.1
Dalam kalimat “asap menunjukan adanya api”. Kata “api” disebut madlul sedangkan “asap” yang menunjukan adanya “api” disebut dalil. Pembahasan tentang “dilalah” ini begitu penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih, karena termasuk dalam salah satu system berpikir. Untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dilalah.2
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukan makna yang dimaksudkan. Dalam Al-misbahul munir, disebutkan:
“Dilalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal, ketika lafal itu diucapkan secara mutlak”.3
2. Pembagian Dilalah yang Ditinjau dari Segi Bentuk Dalil
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafzhiyyah.
a. Dilalah Lafzhiyyah (Penunjukan berbentuk lafaz)
Yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dengan demikian, lafaz , suara dan kata, menunjukan kepada maksud tertentu. Penunjukannya kepada maksud tertentu itu diketahui melalui 3 hal :
- Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjuk pada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang diseluruh alam ini. Penunjukan (dilalah) seperti ini disebut “thabi’iyyah”; secara lengkap biasa disebut dilalah lafzhiyyah thabi’iyyah.
- Melalui akad. Maksudnya, dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwasuara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Penunjukan secara suara tersebut dinamai “aqliyah”; secara lengkap biasa disebut dilalah lafzhiyyah ‘aqliyah.
- Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Penunjukan bentuk ini disebut “wadh’iyah”; secara lengkap biasa disebut “dilalah lafzhiyyah wadh’iyyah”.4
b. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah (Dilalah bukan lafaz)
Yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan lafaz dan bukan pula dalam bentuk kata. Hal ini berarti bahwa “diam” atau “tidak bersuaranya“ sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, contohnya seperti “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu. Diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal sebagai berikut :
- Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semua orang dimana saja. Penunjukan seperti ini disebut “thabi’iyah”; secara lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah thabi’iyah.
- Melalui akal. Maksudnya, meskipun tidak ada suara atau kata, namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat di balik diamnya sesuatu. Penunjukan dalam bentuk ini disebut “aqliyyah”; secara lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah aqliyyah.
- Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Penunjukan seperti ini disebut “wadh’iyyah”; secara lengkapnya: dilalah ghairu lafzhiyyah wadh’iyyah.5
Kedua bentuk dilalah di atas (dilalah lafziyah dan ghairu lafzhiyah) selain dibahas dalam ilmu mantiq (logika), juga dikaji dalam ilmu ushul fiqih, meskipun di antara mereka ada perbedaan dalam menggunakan pengistilahannya. Bentuk dilalah yang luas penggunaannya adalah dilalah lafzhiyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah ghairu lafzhiyah juga digunakan dalam penunjukan terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqih.6
3. Metode Lafaz Dilalah (Penunjukan) Nash atas Hukum Menurut Ulama Hanafi
Ulama hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafzhiyyah.Dilalah lafzhiyyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya.
A. Dilalah Lafzhiyyah (دِلَالَةُ لَفْظِيَّةُ)
Dilalah lafzhiyyah terbagi menjadi 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya :
1. Dilalah ‘ibarah ( دِلَالَةُ عِبَارَةُ) atau disebut juga ‘ibarat nash .
Yang dimaksud dengan ibaratun nash ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam surat al-Baqarah, ayat 275 berikut ini.
وَاَحَـلَّ اللهُ الْبَــيْـعَ وَحَـرَّمَ الـرِّبَـا …
“padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”(QS. Al-baqarah:275)
Lafal nash ini mempunyai dua makna; pertama bahwa jual beli tidak sama dengan riba, dan kedua jual beli hukumnya halal, sedangkan riba hukumnya haram. Kedua makna ini dipahami dari lafal nash dan susunan asli dari kalimat. Ayat ini merupakan jawaban dari pendapatorang yahudi yang mengatakan jual-beli sama dengan riba yang dipahami dari lafal dn susunan kalimat yang bukan asli.7
Adapun sebagian pendapat para ulama:
Menurut abu zahrah :
وَهِيَ اْلمَعْنَى اْلمَفْهُوْمِ مِنَ الَّلْفظِ سَوَاءٌ كَانَ نَصَّا اَوْ ظَاهِرًا
“makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafaz, baik dalam bentuk nash maupun zahir”.
Penulis kitab al-Tahrir memberikan definisi :
“penunujukan lafaz atas makna dalam keadaan sesuai dengan yang dimaksud secara asli, meskipun dalam bentuk lazim (lafaz jenis inilah yang diperhitungkan oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam bentuk asli”.8
2. Dilalah isyarah (دِلَالَةُ الاِشَارَةُ) atau disebut juga isyarah al-nash.
Yang dimaksud dengan isyaratun nash ialah makna yang dapat dipahami bukan dari lafal dan susunan kalimat nash, tetapi dari luar nash.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam surat al-Baqarah, ayat 233:
وَعَـلَى الْمَوْلُوْدِ لَــهُ رِزْقُــهُـنَّ وَكِـسْـوَتُهُـنَّ بِالْمَعْـرُوْفِ … (البقـرة / ۲ :۲۳۳)
“dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al-baqarah : 233)
Dipahami melalui ibaratun nash bahw nafkah dan pakain ibu merupakan tanggung jawab suami. Namun dipahami melalui isyaratun nash, bahwa ayah saja yang berkewajiban memberikan nafkah kepada anaknya karena anaknya itu adalah anaknya sendiri. Kalau ayah mengambil atau membinasakan harta anaknya, maka si ayah tidak dituntut untuk mengganti, karena harta tersebut adalah harta anaknya sendiri.9
Adapun sebagaian pendapat para ulama:
Menurut Abu Zahrah :
“apa yang ditunjuk oleh lafaz melalui ibaratnya”.
Ulama hanafiyah dalam al-tahrir memberi definisi :
دِلَالَتُهُ)اَيِ اللَّفْظِ عَلَى مَالَمْ يَقْصُدْبِهِ اَصْلًا)
“lafaz yang dilalahnya terhadap sesuatu, tidak dimaksud untuk itumenurut asalnya”.
Al-sharkhisi dari ulama hanafiyah memberi definisi :
“apa yang terungkap memang bukan ditunjukan untuk itu, namun dari perhatian yang mendalam ditemukan suatu makna dari lafaz itu, tidak lebih dan tidak kurang”.
Definisi lainnya yang mirip dengan yang diatas adalah :
“penunjukan sebuah ucapan terhadap arti bukan yang dimaksud secara langsung tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang ucapan diungkapkan untuk itu”.10
3. Dilalah al-dilalah (دِلَالَةُ النَّصُّ) atau disebut juga dilalah al-nash.
Yang dimaksud dengan dilalatun nash ialah arti makna yang dipahami dari jiwa dan arti yang dapat dipikirkan dari nash itu. Karena itu, kalau ibaratun nash menunjukan suatu kasus yang sudah ditetapkan hukumnya dan diterangkan tentang sebab (‘illat) hukumnya, maka apabila ditemui kasus lain yang sebabnya sama dengan kasus yang sudah terjadi, baik kuantitas sebab pada kasus yang baru itu sama dengan kuantitas sebab pada kasus yang terdahulu atau lebih berat lagi, maka hukum kedua kasus itu dinamakan, karena dipahami bahwa nash itu mencakup hukum pada kedua kasus itu. Contoh: Untuk maksud ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 23 berikut ini
فَلأَ تَـقُـلْ لَــهُـمَا أُ فٍّ
“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” . (QS. Al-isra :23)
Dipahami dari ibaratun nash, yaitu dilarang mengucapkan ah kepada kedua orang tua, sebab akan menyakiti perasaannya. Oleh sebab itu, dilarang juga dalm perbuatan lain, seperti memukul dan mencaci karena memukul lebih berat daripada mengucapkan ah.11
Adapun pendapat para ulama :
Menurut Abu Zahrah :
دلَالَةُ اللَّفْظ عَلَى ثُبُوْتِ حُكْمِ مَاذُكِرَ لِمَا سُكِتَ عَنْهُ لِفَهْمِ الْمَنَاطِ بِمُجَرَّدِفَهْمِ اللُّغَةِ
“dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.
Definisi yang hampir sama, dikemukakan oleh pengarang at-tahrir :
“dilalah lafaz yang disebutkan dalam penetapan hukum adalah untuk yang tidak disebutkan karena ada hubungannya yang dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa.
Definisi yang agak beda dikemukakan oleh al-sarkhisi :
“apa yang ditetapkan dengan makna menurut aturan bahasa dan bukan melalui cara istimbath dengan menggunakan daya nalar”.12
4. Dilalah al-iqtidha (دِلَالَةُ الِاقْتِضَاءُ) atau disebut juga iqtidha al-nash.
Yang dimaksud dengan iqtidhaun nash ialah pengertian yang diambil dari suatu lafal yang tidak akan jelas arti kalimatnya kalau lafal itu tidak dita’wilkan, maka dengan ta’wil barulah pengertian sesuai dengan kenyataanya.
Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Ma’idah, ayat 3 berikut ini:
حُـرِّمَتْ عَـلَيْـكُمُ الْـمَـيْـتَــةَ وَالدَّمَ وَلَحْـمَ الْـخِـنْـزُيْـرِ…
“Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi”
Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi.Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.13
Adapun sebagian pendapat para ulama :
Menurut sebagian ahli ushul :
“penunjukan lafaz kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang kebenarannya tergantung kepada yang tidak tersebut itu”.
Secara sederhana Abu Zahrah memberi definisi :
“penunjukan lafaz kepada setiap sesuatu yang tidak selaras maknanya tetapi memunculkannya”.
Sedangkan pengarang al-Tahrir mendefinisikan :
اِنْ دَلَّ اللَّفْظُ عَلَى مَسْكُوْتٍ يَتَوَقَّفُ صِدْقَهُ عَلَيْهِ اَوْ صِحَّتَهُ
“lafaz yang menunjukan kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang mungkin kebenaran dan keshahihannya tergantung kepada yang tidak disebutkan”.14
B. Dilalah Ghairu Lafzhiyyah (دِلَالَةُ غَيْرُ لَفْظِيَّةُ)
Dilalah ini disebut juga dilalah sukut atau bayan al-dharurah. Para ulama ushul hanafiyah membagi dilalah yang bukan lafal dalam empat bagian, yang semuanya dinamakan bayan dharurat, yaitu penjelasan yang dapat dipahami dengan mudah. Sifat dari keempat lafal tersebut adalah dilalah sukut, artinya petunjuk yang dapat dipahami bila dihubungkan dengan perkataan (dilalah lafal) dalam memfaedahkan hukum.15
Menurut ulama hanafi ada 4 Macam, yaitu :
اَنْ يَلْزَم عَنْ مَذْكُوْرِ مَسْكُوْتِ عَنْهُ
“kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan”.
دلَالَة حَالِ السَّاكِتِ الَّذِىْ كَانَتْ وَظِيْفَتُهُ البَيَان مُطْلَقًا
“dilalah (penunjukan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk memberi penjelasan”.
اِعْتِبَارُ سُكُوْتِ السَّاكِتِ دَلَالَةُ كَالنُّطْقِ لِدَفْعِ التَّغْرِيْرِ
“menganggap diamnya seseorang yang diam sebagai berbicara untuk menghindarkan penipuan”.
دلَالَةُ السُّكُوْتِ عَلَى تَعْيِيْنِ مَعْدُوْدٍ تَعُوْدُ حَذْفُهُ ضَرُوْرَةَ طُوْلِ الكَلَامِ بِذِكْرِه
“dilalah sukut ( penunjukan diam ) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan”. 16
4. Metode Lafaz Dilalah (Penunjukan) Nash Atas Hukum Menurut Ulama Mutakallimin
Dalam pandangan Mutakallimin dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah manthuq dan dilalah mafhum.
A. Dilalah manthuq
Dilalah manthuq dalam pandangan pandangan ulama syafi’iyah adalah :
“penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum menurut apa yang disebutkan dalam lafaz itu”.
Definisi ini mengandung arti bila kita memahami suatu hukum menurut apa yang tersurat secara jelas dalam lafaz itu, pemahaman ini disebut secara “manthuq”.17 Secara garis besarnya, dilalah manthuq terbagi 2, yaitu: manthuq sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas.
Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukannya itu timbul dari “wadh’iyah muthabiqiyah” dan “wadh’iyah tadhamminiyah”. manthuq sharikh dalam istilah ulama syafi’iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah.
Manthuq ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari “wadh’iyah iltizhamiyah”.
Manthuq ghairu sharikh ini terbagi kepada dua macam, yaitu :
Penunjukannya itu dimaksud oleh pembicara, dan
Penunjukannya itu tidak dimaksud oleh pembicara.
Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah)nya dimaksud oleh pembicara; ada dua macam: 1. Dilalah iqtidha’, dan 2. Dilalah ima’. Dilalah iqtidha ini di kalangan ulama hanafiyah juga disebut dilalah iqtidha atau iqtidha al-nash. Sedangkan yang dimaksud dengan dilalah ima’ adalah penyertaan sifat dengan hukum dalam bentuk seandainya sifat itu bukan yang menjadi ‘illat untuk hukum tersebut, maka penyertaan itu tidak ada artinya.
Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah) nya tidak dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut “dilalah isyarah” yang di kalangan ulama hanfiyah juga disebut “dilalah isyarah” atau dengan istilah isyarah al-nash yang telah dibicarakan dalam uraian tentang “pembagian dilalah dalam pandangan ulama hanafiyah”.18
B. Dilalah mafhum
Dilalah mafhum adalah penunjukan lafaz yang tidak dibicarakan atas berlakunya hukum yang disebutkan terhadap apa yang tidak disebutkan atau tidak berlakunya hukum itu. Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu : mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.19
5. Pembagian Macam-Macam Mafhum Menurut Ulama Mutakallimin
Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu : mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
A. Mafhum Muwafaqah
Mafhum muwafaqah ialah mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalm lafaz. Dari segi kekuatan berlakunya hukum pada apa yang yang tidak disebutkan, mafhum muwafaqah terbagi dua, yaitu :
1. Mafhum aulawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan itu lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa yang disebutkan dalam lafaz. Kekuatan hukum itu ditinjau dari segi alas an berlakunya hukum pada manthuqnya.
2. Mafhum musawi
Yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan dalam manthuq. Para ulama sependapat tentang sahnya berhujjah (menjadikan sebagai cara dalam menetapkan hukum) dengan mafhum muwafaqqah. Hanya kalangan ulama zhahiri yang menolak menetapkan hukum menurut mafhum sebagaimana juga menolak menggunkan qiyas, karena maenurut mereka, mafhum muwafaqah dalam hal ini sama dengan qiyas.
B. Mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah ialah mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum mukhalafah terbagi kepada beberapa bentuk, di antaranya (yang pokok) adalah :
1. Mafhum sifat
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang menggunakan suatu sifat terhadap hukum yang berlawanan pada sesuatu yang tidak disebutkan bila sifat tersebut tidak ada.
2. Mafhum syarat
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu berlaku hukum yang dikaitkan kepada suatu syarat, terhadap kebalikan hukum pada sesuatu yang tidak disebutkan bila syarat itu tidak terpenuhi.
3. Mafhum al-ghayah/limit waktu
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang pada lafaz itu ada hukum yang dibatasi dengan limit waktu untuk tidak berlakunya hukum tersebut bila limit waktu sudah berlalu.
4. Mafhum al-adad/bilangan
Yaitu penunjukan suatu lafaz menjelaskan berlakunya hukum dengan bilangan tertentu, terhadap hukum kebalikannya untuk bilangan lain dari bilangan yang ditentukan itu.
5. Mafhum al-laqab/gelar atau sebutan
Yaitu penunjukan suatu lafaz yang menjelaskan berlakunya sustu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak belakunya hukum itu untuk orang-orang lain.20
6. Berhujjah dengan mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah suatu istilah yang popular dalam pembahasan ushul fiqh. Namun tentang penetapkan hukum melalui cara mafhum mukhalafah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai kekuatanhukum yang diitetapkan melalui beberapa bentuk mafhum tersebut dalam kaitannya dengan teks hukum:
- Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada suatu sifat, syarat, bilangan atau limit waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula, nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan ataau batas waktunya sudah berlalu.
- Ulama hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq (tersurat). Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu, maka tidak dapat diketahui hukumnya hanya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti, kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhum mukhalafah saja.21
7. Syarat berhujjah dengan mafhum mukhalafah
Ulama yang membolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafah mengemukakan beberapa syarat dalam menggunakan mafhum mukhalafah sebagai hujjah. Syarat tersebut adalah :
- Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq atau mafhum muwafaqqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalam istidlal.
- Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah diujukan sekedar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
- Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
- Dalil manthuqnya (yang tersurat) disebutkan secara terpisah. Seandainya manthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
- Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku. Bila manthuq membicarakan hukum atas sesuatu menurut lazimnya berlaku, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.22
Untuk sahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat :
- Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
- Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
- Yang disebut (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan.
- Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti yang lain.23
Kesimpulan tentang Dilalah atau Dalil
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Arti dilalah secara umum adalah: “memahami sesuatu atas sesuatu”. Kata “sesuatu” yang disebutkan kedua kalinya disebut “dalil” (yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut “dalil hukum”.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafzhiyyah.
Ulama hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghairu lafzhiyyah. Dilalah lafzhiyyah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah ghairu lafzhiyyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyyah terbagi menjadi 4 macam yang berbeda tingkatan kekuatannya yaitu : ‘ibarat nash, isyarah al-nash, dilalah al-nash, iqtidha al-nash.
Sedangkan dalam pandangan Mutakallimin dilalah itu ada dua macam, yaitu : dilalah manthuq dan dilalah mafhum. Dilalah manthuq terbagi 2, yaitu: manthuq sharikh/jelas dan manthuq ghair sharikh/yang tidak jelas. Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama mafhum muwafaqah dengan pembagiannya yaitu mafhum aulawi dan mafhum musawi. Dan yang ke dua yaitu mafhum mukhalafah dengan pembagiannya yaitu mafhum sifat, mafhum syarat, mafhum al-ghayah/limit waktu, mafhum al-adad/bilangan, dan mafhum al-laqab/gelar atau sebutan.
Untuk sahnya mafhum mukhalafah dalam berhujjah, diperlukan empat syarat :
- Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil manthuq maupun mafhum muwafaqah.
- Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
- Yang disebut (mantuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan suatu keadaan.
- Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri, tidak mengikuti yang lain.
Sumber Daftar Pustakan:
1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009), hlm. 131.
2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 126.
3 –
4 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 132.
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 135.
6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,ibid, Hlm. 129.
7 –
8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 130.
9 –
10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 131.
11 –
12 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 134.
13 –
14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 136.
15 –
16 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 142-144.
17 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,(Jakarta : Kencana Prenada Media Group: 2012),Hlm. 122.
18 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 153-155.
19 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh,(Jakarta : Kencana Prenada Media Group: 2012),Hlm. 123.
20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2,Ibid, Hlm. 156-162.
21 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ibid , Hlm. 162-163.
22 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Ibid, Hlm. 167-168.
23 –
Semua: Nukilan