Maqoshid syariah menjadi pembahasan sangat relevan di zaman sekarang. Hal ini dikarenakan banyak permasalahan baru muncul. Oleh karena itu kita perlu mengetahui pengertian maqoshid syariah, sejarah pemikirannya, dan kasusnya.

Definisi Maqoshid Syariah

Maqoshid Secara bahasa berarti Maqoshid (Tujuan), Al-Wustho (Tengah-tengah), Shirathol Mustaqim (Jalan Yang Lurus)
Maqoshid secara Isthilahan berarti tujuan yang ditetapkan oleh Syar’i atas hamba-hambaNya melaui Alqur’an dan Assunnah

Syariah secara bahasa bermakna Syar’i (jalan). Sedangkan syariah secara istilah berarti hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT yang bersumber dari Al-qur’an dan As-sunnah.

Maqoshid Syariah menurut Ibnu Ashur ialah tujuan-tujuan dan hikmah-hikmah yang diinginkan oleh Allah SWT dari seluruh hukum syari’at atau sebagian besarnya, yang tidak dikhususkan pada pembahasan yang khusus saja.

Sejarah Pemikiran Maqashid Syariah oleh Imam Al-Haramayn

Nama sebenarnya adalah Abu al-Ma’ali ‘Abdul Malik bin ‘Abdulllah al-Juwaeni. Beliau di lahirkan di Parsi (Nisaburi) pada 419 H/999 M. Pengajar di Nizamiyyah. Karangannya yang terkenal adalah Al-Burhan.

Hakikat Maqashid menurutnya: “barang siapa yang belum mengetahui hakikat maqashid dalam bentuk perintah-perintah dan larangan-larangan, maka dia tidak pantas dalam meletakan syariah.

Dalam kitab al-Burhan dijelaskan dalam bab ‘illah dan usul. Menurutnya pembagian illah atau ta’lillah al-syar’iyyah ke dalam lima kategori, yaitu: 1) segala sesuatu yang berhubungan dengan dharuriyat; 2) segala sesuatu yang berhubungan dengan hajiyat; 3) segala sesuatu yang dharuriyat dan hajat (kebutuhan) publik melainkan dalam bentuk tahalli (hiasan); 4) Segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan dharuriyat dan hajat (kebutuhan) publik; dan 5) Segala sesuatu yang tidak keliahatan proses ta’lil yang jelas dan tujuan yang tertentu yang tidak masuk dalam pembahasan dharuriyat, hajiyat dan mukarramat.

Maqoshid Syariah Alkulliyyah

Maqoshid Alkulliyyah (Universal) adalah maqoshid al-khomsah dari maqoshid dharuriyat yaitu sesuatu yang mesti adanya demi terwujudnya kemaslahatan agama. Maqoshid ini dicetuskan oleh Imam Syatibi yang mengacu pada pertanyaan “apakah sesungguhnya maksud dengan menetapkan syariat?”

Ada juga yang menyebutkan alkulliyyat al khomsah untuk kelima dharuriyat ini bersifat ijtihad bukan naqli, artinya disusun berdasarkan pemahaman para ulama terhadap nash yang diambil dengan cara istiqra, diantaranya :

  1. Memelihara agama (hifdzu Din) yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringkat primer, seperti melaksanakan sholat lima waktu. Bila sholat ini diabaikan, maka eksistensi agama akan terancam.
  2. Memelihara Jiwa ( Hifdzu Nafs) yaitu memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Jika kebutuhan pokok diabaikan maka akan terancam eksistensi jiwa manusia.
  3. Menjaga akal (Hifdzu Aql) yaitu seperti diharamkannya minum-minuman keras. apabila ketentuan ini dilanggar maka akan terancam eksistensi akal manusia.
  4. Menjaga keturunan (Hifdzu Nasl) yaitu disyariatkannya menikah dan dilarang berzina. Apabila hal tersebut dilanggar makan akan terancam eksistensi keturunannya.
  5. Menjaga harta (Hifdzu Maal) yaitu seperti disyariatkannya tatacara kepemilikan melalui jual beli dan dilarangnya mengambil harta orang lain dg bathil spt mencuri, riba dll. Apabila dilanggar maka akan terancam eksistensi hartanya.

Ad-Din (agama) Sebagai Maqoshid Alkulliyya Pertama

maqoshid syariah

Agama merupakan pangkal utama yang harus dijaga dan diulangi. Karena ia bersumber dari hati dan setiap hamba harus selalu beribadah kepada Allah dg agama (wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun).

Agama menurut syatibi merupakan maqoshid al kulliyyah yang selalau berada di tingkat pertama karena jika eksistensi terhadap agama menjadi rusak maka akan mengancam maqoshid yang keempat lainnya.

Syatibi menyimpulkan :

a. Niat dan motif yang digerakkan seorang hamba tidak boleh melenceng dr syariat agama Islam. Dalam melakukan amal yg diperintahkan seorang hamba harus berupaya sebisa mungkin menyesuaikan maksudnya dg tujuan syariat, jika sudah yakin dia tidak boleh menyingkirkan unsur ta’abid (ibadah) kpd Allah SWT, sehingga ia masih dijalan yang lurus.
b. Siapapun yg dlam menjalankan perinta Allah SWT punya maksud lain dan tidak seperti yg dimaksudkan oleh syariat maka amalnya batal.

Kasus yang Berhubungan dengan Maslahah dalam Maqashid Syariah

Dalam aktivitas kehidupannya, umat Islam dianjurkan mengutamakan keutuhan terpenting (maslahah) agar sesuai dg tujuan syariat (maqoshid syariat). Maslahah adl pemikiran atau kekuatan barang tau jasa yg mengandung elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia didunia dan perolehan pahala di akhirat.

Maslahah ini tdk dpat dipisahkan dr maqoshid syariah. Maqoshid syariah meruakan perintah2 yg pd hakikatnya kembali untuk kemaslahatan hamba Allah d dunia dan akhirat. Tujuan syariat itu dpt menetukan perilaku konsumen dalam Islam dan tercapainya kesejahteraan umat manusia. Semua barang dan jasa yg dapat memiliki kekuatan unt memenuhi 5 komponen pokok. Berkaitan dg CSR, kelima pokok itu perlu mendapat perhatian.

Dalam skala primer perusahaan atau badan komersial perlu menghargai agama yang dianut masyarakat. Jangan sampai kepentingan masyarakat terhadap agamanya diabaikan, bahkan semstinya pihak perusahaan ataubadah komersial harus mampu ditujukan agar hidup lebih bertahan dan mencagahekses kepunahan manusia.

Korporasi harus mampu menjaga keutuhan dan kehormatan (rumah tangga) masyarakat terkait atau internal perusahaan
Perusahaan dilarang memebrikan ekses negatif dlm kegiatan yg akan mengganggu rusaknya akan pikiran manusia. Islam melarang umatNya mengkonsumsi atau memproduksi makanan dan minuman yg dpt merusak akan karena akan mengancam eksistensi akalnya.