Berikut adalah wawancara dengan M. Gunawan Yasmi, Anggota DSN MUI pada tahun 2012 tentang penyempurnaan kepatuhan syariah investasi saham di Indonesia.
Sebenarnya bagaimana sejarah awalnya lahirnya saham syariah ini?
Sebenarnya, saham syariah itu awalnya adalah kebutuhan spesifik dari Danareksa Investment Management (DIM). Sektiar 1998/99, DIM ingin mempromosikan satu reksadana syariah. Saat itu, pertanyaan yang timbul adalah instrumennya apa? Mau tidak mau ‘kan saham. Nah, kalau saham, bagaimana cara memasukkan kriteria syariahnya? Nah, atas dasar itulah maka dibuat kajian akademik oleh DSN MUI. Yang akhirnya kajian akademik itu dimasukkan ke dalam fatwa DSN MUI nomor 20 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah. Setelah itu, barulah fatwa-fatwa yang mengatur secara khusus mengenai saham (efek) syariah menyusul, seperti fatwa DSN MUI no.40 tahun 2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip syariah di bidang pasar modal.
Kenapa harus ada saham syariah dan pasar modal syariah?
Pertama, kalau kita bicara capital market saja, ya kita tahu motif speculation-nya begitu tinggi, sehingga kalau tidak terjaga, pasti akan mengarah ke yang haram yaitu cenderung kepada konsep perjudian. Nah konsep syariah ini bisa juga untuk menjaga di pasar modal tersebut. Jangan sampai aktivitas yang spekulatif itu benar-benar mengarah pada gharar yang jelas menjadi maysir, sementara gharar harus diminimalkan. Karena saya berangkat dari satu prasangka yang baik, bahwa namanya capital market itu sesungguhnya adalah syariah. Artinya memang sudah syariah seharusnya. Cuma karena ada tindakan-tindakan yang berlebihan (dari pelakunya), sehingga menjadi kebablasan. Gharar yang masih diperbolehkan syarat ringkasnya adalah yang bisa diabaikan, tida bisa dihindari dan buan menjadi keinginan utama (seperti judi ataupun tindakan-tindakan yang disengaja untuk memancing adrenalin, semisal pengalaman menantang maut tanpa persiapan matang sekali).
Tapi tidak semua spekulasi juga haram, ‘kan? Kalau kita lihat al-Qur’an, Surat Luqman ayat 34, misalnya, Allah SWT sendiri sudah mengatakan, bahwa tidak seorang pun mengetahui apa yang diusahakannya besok. Artinya, memang dalam hidup ini, pasti ada ketidakpastian alami.
Itu memang spekulasi yang memang kita harus mengusahakan yang terbaik. Namun spekulasi yang sengaja diciptakan, mengarah kepada maysir, misalnya, itu yang harus dihilangkan. Ambil contoh di pasar modal, bahwa dalam interaksi perdagangannya, dimungkinkan orang melakukan short-selling, misalnya. Nah, itu harus diredam dan dihilangkan by system dan by law. Baru itu akan mengarah kepada pasar modal yang syariah.
Ambil contoh, seseorang, mislanya, dengan cuma punya sedikit modal (itu pun hanya didapat dengan cara meminjam), lalu bisa melakukan transaksi perdagangan di pasar modal dalm jumlah besar. Itu kan sudah mengarah ke perjudian! Karena seperti membeli modal untuk perjudian. Karena itu, yang namana margin trading konvensional, bukan hanya harus dikurangi, tapi dihilangkan saja, apaladi margin trading secara konvensional melibatkan pinjam meminjam uang secara ribawi. Jadi, kalau memang hendak bertransaksi sebagai investor, ya berlakulah sebagai investor. Jadi harus punya modal yang cukup. Nah, investor margin trading konvensional itu yang harus kita upayakan utnuk dihilangkan, walaupun ini tidak mudah.
Secara Teknis, apakah saham syariah lebih aman dibanding konvensional?
Jelas lebih aman. Karena kita berbicara rasio keuangan. Dari sisi kehalalan, tentu tidak serta merta, kita bisa katakan, bahwa seluruh sumber kekayaannya, dari yang halal. Karena ‘kan batasnya, 45% dari hutang ribawi maksimal, yang membuat saham itu masuk ke dalam DES. Sisanya yang 55% harus dari yang halal.
Yang mana itu bisa datang dari modal ekuitas (modal sendiri), atau pun dari pembiayaan yang bersifat syariah, seperti sukuk, atau pembiayaan bank syariah. Sebagaimana kita tahu, mitigasi pembiayaan dari bank syariah, tentu lebih jelas di dalam menyeleksi objek pembiayannya, misalnya, dengan akad murabahah. Artinya, dari sisi risiko saja, itu sudah lebih jelas, bahwa pembiayaannya itu bukan pembiayaan gharar. Bayangkan dengan pembiayaan konvensional yang bisa untuk apa saja.
Apalagi kalau kita bicara modal, tentu perusahaan yang modal sendirinya, atau equitasnya lebih dominan daripada hutang ribawi, maka dia akan punya tingkat kesehatan keuangan yang lebih tinggi daripada yang tidak. Jadi by nature saja, penempatan rasio keuangan seperti itu, memang sudah menyaring, bahwa, perusahaan yang masuk (saham-saham DES) ini, seharusnya lebih baik, daripada perusahaan konvensional secara umum.
Baiklah, kabarnya DSN MUI dalam waktu dekat akan meperbaiki kriteria saham-saham yang masuk dalam DES?
Benar. Kami sedang menyempurnakan lagi kriterianya saham-saham yang berkaitan dengan DES. Terakhir memang, baru-baru ini kita sudah memberikan opini kepada Bapepam LK untuk menyempurnakan kriteria DES, terutama untuk saham.
Kalau sebelumna dalam fatwa DSN No. 20/2001, tertulis saham yang masuk kategori saham syariah adalah saham yang mempunyai rasio keuangan, salah satunya hutang ribawi terhadap modal sendiri atau modal disetor, perbandingannya 45% berbading 55%. Maka dalam kriteria yan baru, kita sampaikan bahwa hutang ribawinya membiayai asset perusahaan jauh lebih kecil, atau batasan tertingginya adalah 45% dari total kekayaan perusahaan.
Alasannya adalah, setela perkembangan perbankan syariah, kalau ada pembiayaan dari bank syariah terhadap perusahaan tersebut, tentunya itu tidak termasuk ke dalam utang ribawi. Lalu, kalau ada obligasi syariah atau sukuk, itu juga bukan hutan ribawi. Jadi penyempurnaannya sebenarnya di sini. Ini yang sudah memperoleh opini dari DSN MUI, sehingga nanti insyaAllah di bulan Mei 2012, Daftar Efek Syariah yang ada, akan sudah menggunakan kriteria yang sudah disempurnakan itu.
Sebenarnya ini untuk mengakomodasi lebih berkembangnya DES. DEngan revisi atau penyempurnaan kriteria ini, maka akan lebih banyak lagi saham-saham syariah nantinya yang akan masuk. Kalau searang misalkan DES berjumlah 240 saham, perkiraan kami sementara waktu ke depan, paling tidak akan bertambah sekitar 10 persenan.
Ke depan, apa harapan Anda terhadap industri pasar modal syariah kita?
Saya sendiri sebetulnya tidak terlampau setuju, kondisinya pasar modal saat ini seperti terbagi dua, yaitu ada pasa modal (konvensional), dan yang syariah. Mimpi saya justru, pasar modal yang konvensional ini, kalau kita bisa menjaganya supaya tidak lagi melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariah, berarti ‘kan kita nggak usah ngomong lagi (konsep) pasar modal syariah. Sehingga pasar modal (konvensional) yang eksis ini, otomatis sudah syariah.
Karena kalau prinsip dasar pasar modal itu bisa diterapkan dengan baik, maka itu seharusnya sudah syariah. Saya ambil contoh, misalnya di Iranf, atau Pakistan. Kalau kita mengacu ke sana, di Iran tidak ada pembedaan konvensional dan syariah. Semua transaksi di pasar modalnya adalah konsep pasar modal secara syariah. Karena apa? Ya semuanya kegiatan pasar modal yang menyimpang, seudah dia eliminasi. Semuanya sudah syariah.
Sebenarnya pun, pasar modal kita sekarang ini sudah bergerak ke arah yang sesuai dengan nilai-nilai syariah. Saya berikan gambaran, pasr modal kita pada akhir 1980-an, bisa dikatakan mendekati maysir, karena ketidakjelasannya begitu tinggi. Karena sistemnya tidak begitu terdigitalisasi, sehingga memungkinkan adanya permainan, kolusi, antara administratos dan calon investor. Nah, semenjak tahun 1995, mulai diperkenalkan Jakarta Automated Trading System, atau JATS.
Dengan JATS, maka kondisi gharar-nya sudah diminimalkan sedemikian rupa, karena sistemnya sudah secara elektronis. Di era sekarang ini semenjak Maret 2009, keluar sistem baru JATS Next Generation, dengan batasnya yang semakin banyak, melalui control tick mark dengan automatic rejection. Di JATS Next Generation ini juga mempunyai perogram pengawasan yang bisa menangkap yang namanya UMA (Unidentifief MArket Activity), atau perdagagnan yang tidak jelas di market.
Jadi penjagaannya sebenarnya sudah banyak. Dengan sendirinya saya bisa katakan, bawa terlepad dari BEI itu syariah atau tidak syariah, sebenarnya dengan JATS Next Generation ini, itu sudah bisa mengeliminir sekian banyak pintu-pintu ghararm sehingga secara by system sebenarnya itu sudah mendekati prinsip syariah yang kita coba upayakan. Cuma permasalhannya sekarang, kalau bursa keseluruhan masih memperdagangkan saham bank konvensional, lalu juga perusahaan hiburan. Ini yang tidak mungkin dieliminasi, bukan tidak mungkin sebuah keniscayaan juga, bahwa suatu saat, bursa di kita, tanpa disebut bursa syariah pun, itu sebenarnya sudah syariah.
Sumber wawancara: Majalah Sharing no 63 Tahun 4 (dengan sedikit perubahan)