Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua khususnya mahasiswa fakultas syari’ah. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu Qawaidul fiqhiyah.
Pemahaman akan Qawaid Fiqhiyah
Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan.
Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
A. Perihal Pokok Dalam Qawa’id Fiqhiyyah
Dalam kaidah fiqih, menuurut mazhab Syafi’i ada lima kaidah pokok yang memiliki peranan penting dan ruang lingkup serta cakupan yang berbeda. Mulai dari kaidah dengan ruang lingkup yang sangat luas hingga kaidah fikih dengan ruang lingkup yang sempi. Kelima kaidah tersebut adalah:
Kaidah Fiqhiyah Pertama
الأُمُوْرُبِمَقَاصِدِهَا
“ Segala sesuatu itu tergantung pada niat”.
Kaidah Fiqhiyah kedua
اليَقِيْنُلاَيُزَالُبِالشَّكِّ
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
Kaidah Fiqhiya ketiga
المَشَقَّةُتَجْلِبُالتَّيسِيْرَ
“kesukaran itu mendatangkan kemudahan”
Kaidah Fiqhiyah keempat
الضَّرَرُيُزَالُ
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”
Kaidah Fiqhiyah kelima
العَادَةُمُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum.”
Dikalangan mazhab hanafi, ditambah dengan satu kaidah lagi, yaitu:
لاَ ثَوَابَ الاَّ بِالنِّيَّةِ
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat”
B. Macam-macam Kaidah Fiqhiyah Pokok
Kaidah fiqih dapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
1. Pembagian kaidah Fiqih dari segi fungsi
Dilihat dari segi fungsi, kaidah fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah sentral dan marginal. Kaidah fiqih yang berfungsi sentral merupakan kaidah yang memiliki cakupan yang sangat luas sehingga banyak furu’ yang disandarkan padanya. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawa’id al-Kubra al-Asasiyyat. Salah satu kaidahnya yaitu,
العَادَةُمُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum.”
Sedangkan kaidah fiqih yang berfungsi marginal adalah kaidah yang cakupannya lebih sempit atau bahkan sangat sempit sehingga tidak banyak furu’ yang disandarkan pada kaidah ini.
2. Pembagian kaidah fiqih dari segi mustasnayat (sumber pengecualian)
Berdasarkan sumber pengecualiannya, kaidah fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Kaidah yang tidak memiliki pengecualian, adalah hadits nabi SAW (dalil hukum kedua) yang dianggap sebagai kaidah fiqih.
- Kaidah yang memiliki pengecualian, adalah kaidah yang terutama diikhtilafkan oleh para ulama.
3. Pembagian kaidah fiqih dari segi kualitas
Dari segi kualitas kaidah fiqih dapat dibedakan menjadi lima, yaitu:
a. Kaidah kunci (inti)
Kaidah kunci merupakan kaidah inti yang mana seluruh kaidah fiqih pada dasarnya dikembalikan pada satu kaidah,yaitu:
دَرْؤُالمَفَاسِدِ وَ جَلْبُ المَصَالِحِ
“Menolak kemafsadatan dan mendapatkan mashlahat”
Kaidah ini merupakan kaidah kunci karena pembentukan kaidah fiqih adalah upaya agar terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya, ia akan mendapatkan mashlahat. Kaidah fiqih merupakan salah satu media untuk berupaya mencapai kemashlahatan tersebut.
b. Kaidah asasi
Kaidah asasi adalah kaidah fiqih yang tingkat keshahihannya diakui oleh seluruh alairan hukum islam. Kaidah tersebut adalah:
الأُمُوْرُبِمَقَاصِدِهَا
“ Segala sesuatu itu tergantung pada niat”.
اليَقِيْنُلاَيُزَالُبِالشَّكِّ
“Sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.
المَشَقَّةُتَجْلِبُالتَّيسِيْرَ
“kesukaran itu mendatangkan kemudahan”
الضَّرَرُيُزَالُ
“Kemadharatan itu harus dihilangkan”
العَادَةُمُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum.”
Lima kaidah fiqih tersebut merupakan kaidah pokok yang menurut sebagian peneliti, semua masalah fiqih dapat dikembalikan kepada lima kaidah tersebut.
4. Kaidah fiqih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni
Kaidah fiqih yang diterima oleh semua aliran hukun sunni adalah Majallat al-ahkam al-adliyyat. Kaidah ini dibuat dibuat pada abad XIX M. oleh lajnah Fuqaha Usmaniah.1
Diantara kaidah fiqih yang terdapat dalam Majallat al-adliyyat yang dipaparkan oleh Subhi Mahmashshani dalam kitab Fasafat al-tasri’ al-islami adalah:2
التَّابِعُ تَابِعٌ
“pengikut (tetap berkedudukan sebagai) pengikut”
التَّابِعُ لاَ يَفْرُدُ بِالحُكْمِ
“hukum yang mengikuti (pengikut) tidak dapat berdiri sendiri”
مَنْ مَلَكَ شَيْئًا مَلَكَ مَا هُوَ مِنْ ضَرُوْرَتِهِ
“siapa saja yang memiliki sesuatu, (dengan sendirinya) ia memiliki bagian yang penting darinya”
اِذَا سَقَط الأَصْلُ سَقَطَ الفَرْعُ
“apabila pokoktelah jatuh (tiada), cabang ikut jatuh pula”
اتَّابِعُ يَسْقُوْطِ المَتْبُوْعِ
“pengikut dengan sendirinya akan jatuh dengan jatuhnya yang diikuti”
Jumlah kaidah yang terdapat dalam Majallat al-ahkam al-adliyyat berjumlah 39 kaidah. Kaidah-kaidah tersebut menegaskan tentang posisi pelengkap ataupenyerta terhadap yang pokok,yaitu sebagai pengikut. Contohnya, jual beli tanah yang diatasnya terdapat pohon-pohon besar dan kecil, berikut sumurnya.
Biasanya, apabila tidak dipermasalahkan sebelumjual beli oleh pihak penjual atau pembeli, pohon-pohon yang ada di atas tersebut otomatis menjadi milik pembeli tanah. Tanah sebagai pokok dan pohon sebagai penyerta (pengikut).
5. Kaidah fiqih yang diikhtilafkan di kalangan sunni
Ada kaidah yang diterima oleh mazhab tertentu tapi ditolak mazhab lain. Ikhtilaf tersebut dapat dilihat pada kasus sewa dan pembayaran kerusakan bagi Hanifah dan Syafi’iah.
Menurut Hanafiah, sewa dan pembayran kerusakan tidak pernah dapat disatukan, masing-masing berdiri sendiri. Oleh karena itu Hanafiah berkata:
الأجْرُ وَالضَّمَانُ لاَيَجْتَمِعَانِ
“sewa dan pembayaran kerusakan tidak (bisa) digabungkan”.
Berbeda dengan Hanafiah, ulama Syafi’iah mengatakan bahwa antara upah dan penggantian kerusakan dapat digabungkan. Karena pendapatanya tersebut, ulama Syafi’iah mengatakan:
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ يَجْتَمِعَانِ
“sewa dan penggantian kerusakan (dapat) digabungkan”.
6. Kaidah yang diikhtilafkan ulama yang sealiran
Terdapat kaidah fiqih yang diikhtilafkan oleh ulama yang aliran hukumnya sama, seperti perbedaan kaidah fiqih antara Muhammad dengan Abu Yusuf dalam aliran hukum Hanafi.
Kasus yang diikhtilafkan oleh Muhammad dan Abu Yusuf adalah penggunaan wangi-wangian sebelum berirham. Menurut Muhammad, wangi-wangian yang digunakan sebelum berihram dan ketika berirham wanginyamasih tercium adalah boleh, karena wangi-wangian itu dipakai sebelum berihram dan yang dilarang oleh rasul adalah wangi-wangian ketika berihram. Kemudian Muhammad membuat kaidah:
البَقَاءُ عَلَى اشَّئِ يَجُوْزُ لَهئُ اَنْ يُعْطِيَ لَهُ حُكْمُ الإِبْتِدَءِ
“sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya,boleh dilakuakn untuk memulai yang lain”
Sedangkan menurut Abu Yusuf, menggunakan wangi-wangian sebelum ihram dan wanginya masih tercium ketika berihram adalah tidak boleh. Pernyataan tersebut dilandaskan pada hadits rasul yang sama,yakni mengenai pelarangan terhadap penggunaan wangi-wangian ketika berihram. Karena itu Abu Yusufmembuat kaidah:
لاَ يَجُوْزُلَهُ اَنْ يُعْطِىَ لَهُ حُكْمُ الإِبْتِدَاءِ
“sesuatu yang terjadi (dan kekal) sebelumnya, tidak boleh dilakuakn untuk memulai yang lain”.
C. Sumber Dalil Qawaid Fiqhiyah
Pada hakiaktnya sumber ataupun sandaran kaidah fiqih adalah Al-Qur’an nabi serta para ulama-ulama mujtahid yang, As-sunnah dan sering pula dari hikamah dankearifan para sahabat nabi serta para ulama-ulam mujtahid yang pengetahuan ilmu fiqihnya sangat luas.
Berikut ini sumber yang dijadiakan sebagai rujukan dalam pembentukan kaidah pokok:
a. “Segala sesuatu itu tergantung pada niat”
Sumber hukum
- surat al-imran : 145
وَمَنْ مِنْهَا نُؤْتِهِ>الأَخِرَةِ ثَوَابَ يُرِدْ وَمَنْ مِنْهَا نُؤْتِهِ>الدُّنْيَا ثَوَابَ يُرِدْ
“barang siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa yang menghendaki pahala akhirat niscaya kami berikan pula pahal akhirat itu.”
- Bukhori dari Umar bin Khattab
أِنَّمَا الأَعْمَالُ بِنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لأِمْرِ ئٍ مَا نَوَ ى (روه اخرجه البخارى)
“sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhori dari Umar bin Khattab).
Di dalam kaidah ini, memberi pengertian bahwa setiap perbuatan manusia, baik yang berwujud perkataan maupun berwujud perbuatan diukur menurut niat si pelakunya. Untuk mengetahui sejauh mana niat si pelakunya itu, haruslah kita lihat adanya qarinah-qarinah yang dijadikan alat untuk macam niat dari pelakunya.
b. “sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Sumber hukum: Bukhori dan Muslim
عَنْ عَبْدِاللَّه بْنِ زَيْدٍ قَالَ:شُكِىَ اَلَى النَّبِىَّ صَلَى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُخَيَّلَ اِلَيْهِ اَنَّهُ يَجِدُ الشَّئَ فِى الصَّلاَةِ قَالَ: لاَيَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ
صَوْ تًا اَوْ يَجِدُ رِيْحًا (روه البخارى ومسلم)
“Abdullah ibnu Zaid berkata; kepada Nabi diadukan tentang seseorang yang selalu merasakan telah mengeluarkan angina dalam sembahyang. Maka Nabi menjawab: janganlah dia berpaling dari sembahyangnya sehingga dia mendengarkan suara atau mencium bau”. (HR. Bukhori dan Muslim)
c. “Kemadharatan itu harus dihilangkan”
Sumber hukum:
- Al-Qashosh : 77
اِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
- Malik, Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارِ فِى الأِسْلاَمِ (رواه ملك وابن ماجه والدار قظنى)
“tidak boleh memberi madharat kepada orang lain dan tak boleh membalas kemadharatan dengan kemadharaqtan di dalam islam.” (HR. Malik, Ibnu Majah dan Ad-Daruqutni)
d. “kesukaran itu mendatangkan kemudahan”
Sumber Hukum
- Al-Baqarah : 286
لاَ يُكَلِّفُ نَفْسًا اِلاَّوُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
- Baihaqi dari Abu Hurairah ra.
الدِّيْنُ يُسْرٌ وَلَنْ يُغَالِبَ الدِّيْنَ أَحَدٌ اِلاَّغَلَبَهُ
“Agama (islama) itu mudah. Tidak seorang pun yang akan bisa mengalahkan atau menguasai agama, bahkan agamalah yang mengalahkan ia”.(HR. Baihaqi dari Abu Hurairah ra.)
e. “Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum”
Sumber hukum:
- Al-A’raf : 199
وَأَمْرُ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.
- Ahmad dari Abi mas’ud
فَمَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَاللَّهِ حَسَنَ (اخرجه احمد ابى مسعود)
“apa yang dipandang oleh orang islam baik, maka baik pula di sisi Allah.” (HR. Ahmad dari Abi Mas’ud)
D. Arti Qawaidul Fiqhiyah Pokok
Berikut ini adalah Implikasi dari setiap kaidah pokok:
Kaidah Fiqhiyah Pokok Pertama
“Segala sesuatu itu tergantung pada niat”
Niat dikalangan para ulam Syafi’iyah diartikan dengan maksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa niat ada di dalam hati, karena niatadalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apapbila meyakini atau beriktikad di dalam hatinya itu sudah cukup.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang itu melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah karena Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan ataudisunnahkan atau yang dibolehkan oleh agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat beribadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja.
Misalnya seseorang dalam keadaan junub mengucapkan:
اِنَّا لِلَّهِ وَ اِنّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
“Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kita kembali”.
Apabila dalam mengucapkan itu, ia berniat dzikir karena datangnya musibah. Hukumnya tidak haram, tetapi bila ia mengucapkan dengan niat membaca Al-Qur’an, hukumnya haram. Contoh lain menyembelih binatang untuk dimakan, maka halal. Tetapi menyembelihnya untuk pemujaan bagi selain Allah SWT, adalah haram hukumnya.
Kaidah Fiqhiyah Pokok kedua
“sesuatu yang sudah yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
Keyakinan (Al-Yaqin) adalah kepastian akan tetap tidaknya seuatu, sedangkan keraguannya (Asy-Syakk) adalah ketidakpastian antara tetap tidaknya sesuatu.
Jadi maksud kaidah ini ialah apabila seseorang telah meyakiniterhadap suatu perkara, maka yang telah diyakini ini tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan.
Mengenai keragu-raguan ini, menurut Asy-Syaikh al-Imam Abu Hamid al-Asfirayniy, ada tiga macam, yaitu:3
Keragu-raguan yang berasal dari haram. Misalnya,ada seekor kambing yang disembelih di daerah yang berpenduduk Muslim dan Majusi. Maka sembelihan tersebut haram dimakan, sehingga diketahui kalau yangmenyembelih itu benar-benar orang Islam (Muslim).
Keragu-raguan yang berasal dari mubah. Misalnya ada air yang berubah, yang mungkin pula disebabkan karena terlalu lama tergenang. Maka air tersebut dapat dijadikan untuk bersuci, sebab pada dasarnya air itu suci.
Keragu-raguan atas sesuatu yang tidak diketahui asalnya. Misalnya seseorang bekerja dengan orang yang modalnya sebagian besar haram. Dan tidak dapat dibedakanantara modal yang halal dan haram. Maka keadaan seperti ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan karena hukumnya makruh.
Contoh dari kaidah ini dalam bidang muamalat misalnya, apabila seorang hakim menghadapi perkara yang terjadi karena suatu perselisihan antara seorang debitur dan kreditur, di mana debitur mengatakan bahwa ia telah melunasi hutangnya kepada kreditur,namun kreditur menolak perkataan si debitur tersebut, yang dikuatkan dengan sumpah. Maka berdasarkan kaidah ini, seorang hakim harus menentapkan bahwa hutang tersebut masih ada (belum lunas). Sebab yang demikian inilah yang telah diyakini adanya. Keputusan ini dapat berubah manakala ada bukti-bukti lain yang meyakinkan yang mengatakan bahwa hutang tersebut telah lunas.
Kaidah Fiqhiyah Pokok ketiga
“Kemadaharatan itu harus dihilangkan”
Para sebagian ulama mengatakan kaidah ini adalah suatu kaidah yang sangat popular dalam fikih Islam, dan merupakan salah satu kaidah yang terpenting, kepada kaidah ini kembali banyak hukum dlam segala babnya. Dengan memperhatikan hukum-hukum yang dipencarkan dan kaidah ini nyatalah bahwa Syari’at Islam sangat berusaha menjauhkan manusia dari kemadlaratan, baik perorangan maupun masyarakat, guna mewujudkan keadilan yang merata.
Kaidah ini mencakup sebagian besar dari masalah-masalah fikih. Diantaranya adalah mengembalikan barang yang telah dibeli, karena ada cacat, disyari’atkannya ada berbagai macam khiyar, syuf’ah, dan hudud.
Darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak selesaikan, maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia. Masyaqot adalah kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan(hajat) tentang sesuatu, bila tidak terpenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia.
Dengan adanya masyaqot akan mendatangkan kemudahan atau keringanan sedangkan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum. Dengan adanya keringanan masyaqot dan penghapusan madlarat akan mendatangkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia, dan dalam konteks ini keduanya tidak mempunyai perbedaan.
Contoh dari kaidah ini, dilarang menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena akan menimbulkan kemadharatan terhadap orang lain.
Kaidah Fiqhiyah Pokok keempat
“kesukaran itu mendatangkan kemudahan”
Masyaqah ialah kesukaran yang hasil dari mengerjakan sesuatu perbuatan, diluar dari kebiasaan. Masyaqah ini menimbulkan hukum rukhsah atau takhlif syari’at dan dia melengkapi darurat (idltirar) dan sebagaimana melengkapi hajat.
Dengan kaidah ini dimaksudkan agar syari’at Islam dapat dilaksanakan oleh hamba atau mukallaf kapan dan dimana saja, yakni dengan memberitahukan kelonggaran atau keringanan disaat seorang hamba menjumpai kesukaran dan kesempitan.
Contoh dari kaidah ini, shalat dzuhur hanya dua rakaat hukum asalnya haram, tetapi karena berpergian jauh, maka hukumnya berubah menjadi sunnah, sebab ia diperbolehkan untuk mengqashar shalatnya.
Kaidah Fiqhiyah Pokok kelima
“Adat kebiasaan itu ditetapkan sebagai hukum”
Adat kebiasaan suatu masyarakat dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Niali-nilai tersebut diketahui, dipahami, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut. Ketika islam datang membawa ajaran yang mengandung nilai-nilai uluhiyah (ketuhanan) dan nilai-nilai insaniyah (kemanusiaan) bertemu dengan nilai-nilai adat kebiasaan di masyarakat. Diantaranya ada aspek yang sesuai dengan nilai-nilai islam meskipun aspek filosofinya berbeda. Ada pula yang berbeda bahkan bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam islam. Di sinilah kemudian ulama membagi adat kebiasaan yang ada di masyarakat menjadi Al-‘Adah al-Shahihah (adat yang shahih) yaitu apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’. Dan ada pula ‘Adah al-fasidah (adat yang mufsadah) yaitu, apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
Contoh kaidah ini yaitu, di dalam jual beli benda-benda yang berat menurut kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat yaitu bahwa transport benda-benda tersebut sampai ke rumah pembeli adalah ditanggung oleh penjual. Oleh sebab itu setiap orang yang akan mengadakan akad jual beli terhadap benda-benda berat harus diatur sebagaimana kebiasaan tersebut.
#nukilan Catatan Kaki:
1 Ali Ahmad al-Nadawi, op.cit, hlm.351
2 Subhi Mahmashshani, Falsafat al-Tasyri al-Islami, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1961), hlm. 338-348
3 Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf, Kaedah-Kaedah PraktisMemahamiFiqih Islami, (Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm.27
Artikel Lanjutan: