Pada dasarnya, mediasi telah ada semenjak pemerintahan islam, menurut mousally pada awal islam, Nabi Muhammad (570-632) telah menganjurkan dan mempraktekkan tahkim atau arbitrase untuk menyelesaikan beberapa permasalahan tentang sengketa. Menurutnya, Nabi Muhammad sebagai arbitrator karena beliau sebagai penerima wahyu (sanctioned by revelation). Ketika islam mendomunasi dalam sebuah kelompok waktu itu, hukum lokal dapat dimasukkan kedalam arbitrasi.
Pada masa pra islam pun ternyata sudah ada pemyelesaian sengketa dengan cara mendamaikan atau mediasi, karena tahkim telah lama menjadi tradisi di dunia arab. Salah satu dari konflik yang terjadi pada masa pra islam adalah perang yang sangat terkenal yaitu yang dikenal dengan perang al-Basus, perang ini terjadi karena seekor unta yang diizinkan untuk memakan rumput atau digembalakan di halaman orang lain. Sengketa mengenai unta ini semakin meningkat sehingga berlangsung dalam jangka waktu yang lama dalam bentuk pembalasan dendam. Pembalasan dendam yang terus terjadi ini hanya dapat diselesaikan dengan proses tahkim dan membayar kerugian dari pemilik halaman (blood-money).
Cerita perang yang terkenal lainnya adalah mengenai dua kuda yang bernama Dahis dan Ghabra yang memenangkan sebuah pacuan. Kekerasan ini akhirnya dapat dengan cepat diselesaikan melalui arbitrasi. Tradisi dan budaya islam fokus kepada kepentingan kelompok bukan kepentingan individu. Dimulai dari abad pertengahan pada bangsa timur, penyelesaian sengketa dilakukan dengan sulh dan musalaha (rekonsiliasi). Keduanya ini dikemas secara praktis dalam sulh yang telah digunakan untuk mengontrol masalah dan memelihara keharmonisan dalam dan diantara kelompok masyarakat yang sangat komunal (tightly knit social groups).1
Meskipun penyelesaian secara damai baik melalui mediasi ataupun artbitrase dalam dunia islam telah dikenal sejak dahulu, namun istilah mengenai mediasi atau arbitrase ini belum dikenal dengan baik oleh masyarakat pada waktu itu. Dalam istilah fiqh, penyelesaian sengeketa secara non litigasi yang melibatkan pihak ketiga dikenal dengan hakam yang digunakan untuk menyelesaikan kasus syiqaq.
Dahulu, hakam juga dimaksudkan sebagai juru damai, yakni pihak yang dikirimkan dari pihak laki-laki atau perempuan yang tidak terlibat persengketaan keduanya serta bersikap netral atau tidak memihak keduanya tanpa mengetahui siapa yang benar dan siapa yang salah.
Mediasi Islam dalam Sejarah dan Syariah
Kajian tentang mediator dalam ranah fiqh kurang dieksplore karena beberapa hal, diantanya adalah a). Tidak banyaknya kajian hukum islam di dalam kitab-kitab fiqh yang menyentuh persoalan-persoalan mediasi, b). lemahnya tingkat sosialisasi serta aplikasi penyelesaian kehidupan masyarakat muslim dengan menggunakan hakam.
Pada masa dahulu, hakam hanya dijumpai dalam masalah munakahah (perkawinan) tentang syiqaq. Sedangkan perwakilan dari pihak laki-laki dan perempuan yang dijadikan sebagai pihak ketiga disebut dengan hakamain.2
Pada masa Nabi sendiri telah ternhadi beberapa sengeta atau konflik yang dapat diselesaikan secara damai oleh Nabi, diantaranya adalah sebagai berikut :
(A) Konflik Pengikut Nabi Muhammad dengan Quraisy (3)
Konflik ini berlangsung cukup lama sejak Nabi Muhammad menerima wahyu, dimana ia harus mengemban misi dakwah islamnya di kota kelahirannya, Mekkah. Dakwah Muhammad untuk mengembalikan ajaran yang benar. Masa pra kelahiran Nabi Muhammad, terjadi penyimpangan ideologis, karena masyarakat menjadikan patung atau berhala sebagai tuhan. Fungsi Ka’bah berubah menjadi kuil dengan ornamen patung-patung di sekelilingnya.
Keprihatinan Nabi Muhammad ini mendorong dirinya untuk mengajak masyarakat meninggalkan penyembahan terhadap berhala. Pada mulanya ajakan ini dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi. Ajakan secara sembunyi-sembunyi dilakukan karena Nabi Muhammad khawatir akan memperoleh tantangan keras dari Quraisy karena kepercayaannya di usik oleh Nabi Muhammad. Perjuangan Nabi Muhammad membawa hasil dan beberapa orang quraisy masuk agama Islam. Hari demi hari pengikut Muhammad semakin banyak. Ia menyarankan kepada orang-orang yang telah mengikuti ajarannya agar menyembunyikan keislamannya dihadapan umum.
Bagaimanapun cara dakwah dengan sembunyi-sembunyi pada akhirnya diketahui oleh pembesar Quraisy dan menimbulkan kemarahan besar. Akhirnya mereka melakukan tekanan-tekanan kepada Nabi Muhammad dengan cara mengolok-ngolok dan menghina agar ia menghentikan misi dakwahnya. Ejekan kepada Nabi Muhammad ini sangat keras dan terbuka, misalnya yang dilakukan oleh Umayyah bin Khalaf dengan cara mengumpat dan mencelanya setiap melihat Nabi Muhammad.
Namun Nabi Muhammad tetap tegar, bahkan untuk memotivasi perjuangannya, Allah menurunkan Surah AL-Humazah. Humazah artinya orang yang mencela orang lain secara terbuka dengan memelototkan mata dan mencemoohnya. Sedangkan lumazah artinya mencela orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi. Maksud ayat ini bahwa orang-orang yang memusuhinya kelak akan disiksa oleh Allah.
Konflik antara kafir Quraisy dengan pengikut Nabi Muhammad tidak hanya sekedar perang mulut namun hingga kontak fisik, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa jahiliyah. Muslimin sebagai kelompok minoritas tidak mampu manandingi kelompok kafir yang mayoritas. Ketegangan ini terjadi hingga pertengahan tahun kelima dari nubuwwah. Akibat tekanan yang kuat dari kafir Quraisy mendorong orang-orang muslimin berpikir keras bagaimana agar mereka mampu bertahan.
Nabi Muhammad sebagai bagian dari pihak yang konflik menyarankan agar mereka hijrah ke tempat yang aman. Nabi Muhammad merekomendasikan agar para sahabat yang sudah tidak kuat memperoleh tekanan Quraisy meninggalkan lokasi konflik menuju Habasyah. Tepatnya pada bukan Rajab tahun kelima Nubuwwah, dibawah komando Utsman bin Affan, rombongan yang terdiri dari 12 laki-laki dan 4 wanita pergi meninggalkan Mekkah menuju Habasyah.
Menurut Muhammad, dipilihnya Habasyah sebagai tempat tujuan karena raja-raja yang sedang berkuasa (Ashamah bin Najasyi) adalah raja yang adil dan melindungi rakyatnya tanpa ada perbedaan. Ditempat inilah para sahabat hidup dengan damai dan aman. Setelah Mekkah dipandang aman, mereka kembali ke Mekkah, bersama-sama memperjuangkan misi Nabi Muhammad. Apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ini merupakan upaya agar tidak terjadi kontak fisik yang berakibat lebih fatal, yaitu semakin berkurangnya umat muslimin jika terjadi perang
(B) Konflik Nabi Muhammad dengan Abu Lahab (4)
Nabi Muhammad ketika menyampaikan misi dakwahnya selalu memperoleh hambatan dan tantangan dari pamannya, yaitu Abu Lahab. Dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad, Abu Lahab dikenal sebagai tokoh Quraisy yang pemberani dan gigih, namun ia selalu memusuhi Nabi Muhammad. Kebencian Abu Lahab kepada Nabi Muhammad ini dilakukan dengan cara menghina, mengolok-olok, bahkan dalam bentuk kekerasan fisik, seperti melempar Nabi Muhammad dengan batu dalam pertemuan Bani Hasyimyang dilaksanakan di bukit shafa. Akibat prilaku buruknya, namu Abu Lahab diabadikan menjadi salah satu nama-nama surat dalam Al-Qur’an.
Kebencian Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad ini tidak dilakukan seorang diri, namun juga oleh orang lain, termasuk istrinya (Ummu Jamil binti Harb bin Umayyah). Namun kebencian tersebut tidak berani ia tampak di hadapkan di hadapan Abu Thalib dikenal sebagai orang yang paling disegani dan dihormati di Mekkah dan ia selalu melindungi Nabi Muhammad dari berbagai tekanan dan ancaman.
Konflik antara Abu Lahab terhadap Nabi Muhammad dilatarbelakangi karena misi dakwah Nabi Muhammad yang akan berakibat pada eksistensi Abu Lahab dalam komunitasnya. Waktu itu Abu Lahab dikenal sebagai orang yang terhormat di kalangan Quraisy. Dengan misi Nabi Muhammad, maka orang-orang dekat Abu Lahab dan para pengikutnya akan pindah ke tangan Nabi Muhammad, seperti al Hakam bin Abul Ash, Uqbah bin Abu Mu’ith, Ady bin HamraAs’Tsaqafy, dan Ibnu Ashda’ al Hudzaly. Mereka ini adalah para tetangga Nabi Muhammad, sekaligus tetangga Abu Lahab.
Meskipun memperoleh tekanan dan ancaman dari Abu Lahab, Nabi Muhammad tetap tegar dan ia berperilaku sebagai orang yang berakhlak mulia. Kebencian Abu Lahab dilanjutkan oleh anaknya, Utbah bin abu lahab. Utbah pernah mengancam Nabi Muhammad untuk merobek bajunya dan meludahi mukanya, tetapi air ludahnya tidak mengenainya. Disamping itu Utbah juga pernah menginjak pundak Nabi Muhammad ketika ia sedang menunaikan shalat. Ketika memperoleh perlakuan yang tidak manusiawi, Nabi Muhammad tidak membalasnya. Ia hanya berdo’a agar orang yang mendhaliminya diberi petunjuk oleh Allah atau kadang ia berdo’a agar pelakunya memperoleh adzab. Sikap inilah yang mampu merubah lawan (Nabi Muhammad) menjadi kawan.
(C) Konflik Peletakan Hajar Aswad (5)
Mekah merupakan salah satu kota yang di huni oleh banyak suku dan riskan atas munculnya konflik. Konflik antar suku di mekkah ini muncul ketika Nabi Muhammad berusia 35 tahun. Perselisihan ini terjadi antara suku Abduddar dan suku ‘Ady yang memperebutkan kesempatan peletakan hajar aswad.
Awal mula konflik ini terjadi ketika kaum Quraisy mengadakan pertemuan untuk membahas pembangunan ka’bah. Pembangunan ini bertujuan untuk membangun kembali ka’bah yang sudah rusak karena di makan usia. Pada tahap awal proyek pembangunan ini memperoleh dukungan masyarakat, karena ka’bah merupakan salah satu simbol kebesaran kota mekah. Namun setelah pembangunan hampir selesai, dan hajar aswad akan di kembalikan pada tempat semula, para suku berebut kesempatan ini.
Beberapa suku arab tersebut hingga terjadi pertengkaran bahkan nyaris terjadi perang. Suku arab yang merasa kuat mempersiapkan diri untuk memperoleh kehormatan peletakan Hajar Aswad, meskipun harus diperoleh dengan cara perang. Kekuasaan atau penghormatan untuk meletakkan hajar aswad merupakan simbol kekuatan di mekkah, khususnya di sekitar ka’bah. Dalam sejarahnya ka’bah merupakan sumber ekonomi dan distribuasi barang. Sebagai sumber ekonomi, ka’bah memiliki sumber air yang menjadi kebutuhan utama masyarakat sekitar ka’bah. Disamping itu juga ka’bah sebagai tempat barang komoditas masyarakat, sehingga di tempat itu di jaga oleh aparat keamanan. Ia juga sebagai tempat menjamu para peziarah ka’bah dan di dekatnya terdapat Dar al-Nadwah sebagai tempat untuk musyawarah.
Perebutan kekuasaan ini dilakukan oleh Bani Abdduddar da Bani ‘Adi. Tokoh masing-masing tersebut membuat perjanjian dengan cara memasukan tangan dalam baskom besar yang berisi darah. Mereka bersumpah untukn berperang sampai titik darah penghabisan dalam rangka memperoleh kehormatan meletakkan hajar aswad.
Para tokoh mekah merasa kesulitan siapa yang mampu meredam dan menyelesaikan perselisihan ini. Kaum Quraisy sebagi kelompok besar yang memiliki pengaruh cukup luas tidak mengambil peran apa-apa, karena mereka merasa takut di tuduh tidak bisa berlaku adil. Oleh karenanya kaum Quraisy membiarkannya dan mereka menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Langkah awal yang di tempuh oleh pemimpin Quraisy ini dimaksudkan untuk menurunkan eskalasi konflik. Di saat yang sama pihak-pihak yang konflik khususnya pemimpin Bani Abduddar dan Bani ‘Adi, dilakukan untuk melakukan musyawarah. Langkah ini sebagai upaya untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pihak-pihak yang antagonis. Setelah melewati komunikasi dan negosiasi, mereka mensepakati peletakan hajar aswad harus di selesaikan oleh pihak lai yaitu seorang penengah (mediator). Namun ketika menentukan siapa mediator yang di maksud, mereka berselisih pendapat. Akhirnya di sepakati bahwa mediator adalah orang yang pertama kali keluar dari salah satu jalan di kota Mekah. Sesaat kemudian, tiba-tiba yang muncul pertama kali adalah Nabi Muhammad. Mereka serentak berkata: “ Lihatlah, kita telah kedatangan orang yang bisa di percaya yaitu Nabi Muhammad”. Setelah Nabi Muhammad mendekat, mereka menyampaikan masalah yang di hadapi dan menunjuknya sebagai mediator. Kemudian Nabi Muhammad menyatakan kesediannya, dan selanjutnya ia melakukan upaya-upaya dan langkah-langkah penyelesaian konflik.
Nabi Muhammad sebagai mediator ia harus bersikap netral, adil, dan bijak. Para tokoh masyarakat dari berbagai elemen suku di kumpulkan. Mereka di ajak musyawarah dan Nabi Muhammad memberikan solusi bagaimana kalau peletakan Hajar Aswad dilakukan oleh semua yang berkonflik secara bersamaan. Kemudian Nabi Muhammad menggelar sepotong kain yang lebar dan kuat, kemudian Nabi Muhammad meletakkan Hajar Aswad di atas kain tersebut. Para tokoh di minta untuk mendekat dan memegang sudut-sudut kain dan mengangkatnya secara bersamaan menuju sudut ka’bah. Dengan semangat kebersamaan para tokoh mengangkat dengan kekuatan yang sama, karena jika pengangkatan tidak serempak maka Hajar Aswad akan jatuh. Ketika hajar aswad sudah berada di sudut ka’bah Nabi Muhammad mengambil dan meletakannya pada sisi sudut bangunan. Setelah peletakan batu tersebut pembangunan ka’bah di laksanakan kembali tanpa ada perselisihan.
Cara yang di ambil Nabi Muhammad ini menggambarkan bahwa mediator harus bersikap adil dan memberikan porsi yang sama kepada pihak. Dengan cara ini peperanngan antar suku di mekah dapat di hindari, dan persatuan kembali terajut.
(D) Konflik Suku di Madinah (6)
Konflik ini terjadi antara suku Khazraj dan suku Aus yang terjadi di Madinah. Pada saat itum Nabi belum melakukan hijrah sampai masa-masa awal tahun hijriyah. Konflik yang terjadi antara dua suku ini tidak diketahui penyebabnya, tetapi yang lebih pasti bahwa perselisihan ini sudah terjadi cukup lama bahkan pernah melakukan perang berkali-kali, yakni yang dikenal dengan perang sumair, dan yang terakhir adalah perang Bu’ats, perang ini terjadi lima tahun sebelum Nabi hijrah. Suku Aus dan Khazraj menisbatkan kabilah-kabila Azdi di yaman, kabilah inilah yang merintis adanya hijrah dari Yaman ke Yatsrib. Kaum ini datang terlebih dahulu sebelum kaum yahudi. Suku Aus tinggal di bagian wilayah selatan dan timur yang merupakan dataran tinggi di Madinah. Sedangkan suku Khazraj di bagian tengah utara yang merupakan dataran rendah di Madinah.
Pada tahun ke- 11 dari nubuwwahm Nabi pertama kali bertemu dengan enam orang dari suku Khazraj (Yatsrib) di Aqabah. Mereka memberikan kesaksian dan bersyahadat, disamping itu mereka juga menceritakan perseteruan yang sedang berkecamuk di Yatsrib antara suku Khazraj dan suku Aus dan meminta Nabi untuk mendamaikannya. Pada tahun berikutnya, di Aqabah pula, Nabi bertemu dengan 12 Orang Yatsrib yang sedang menunaikan haji. Seperti pertemuan Nabi di Aqabah yang pertama, mereka juga memberikan kesaksian yang sama bahkan mereka berjanji untuk hidup dalam perdamaian. Pertemuan ini disebut dengan baiat Aqabah awwal dan tsani.
Demikian pula seja Nabi hijrah ke Madinah beserta para pengikutnya yang kurang dari 2 tahun juga menimbulkan masalah, sehinggamasalah yang dihadapi oleh Nabi Muhammad semakin kompleks, hal ini berkaitan dengan keberlangsungan rombongan yang sudah kehabisan bekal, sehingga cara yang harus ditempuh adalah dengan mendekatkan dan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan pribumi (Anshar). Disisi lain konflik di Madinah telah terjadi berlarut-larut antara suku Khazraj dengan suku Aus.
Usaha Nabi untuk dapat mendamaikan suku yang berselisih membutuhkan waktu yang cukup lama, karena nabi harus memahami karakter dari masing-masing suku tersebut, Sementara suku-suku yang ada pada waktu itu sangat banyak, antara lain adalah suku Auf, suku Aidat, Suku al-Harits, suku Jusyam, suku al-Nujjar, suku Amar bin Auf, suku al-Nabit, suku Khazraj dan suku Aus. Sedangkan dari pihak yahudi terdiri dari suku Nadhir, Quraidhah dan Qainuqa’. Setelah memperoleh data yang cukup, Nabi melakukan koordinasi dengan masing-masing suku yang bersengketa dan berusaha untuk mempertemukan para tokoh masing-masing keompok untuk membahas upaya damai. Setelaj melalui proses yang cukup panjang, Nabi akhirnya merumuskan kesepakatan-kesepakatan para pihak yang siisnya dituangkan dalam piagam Madinah. Piagam inilah yang menjadi konstitusi pertama negara Islam dan menjadi sejarah manusia.
(E) Konflik Nabi Muhammad dengan Quraisy (7)
Konflik antara kafir Mekkah dengan muslimin masih terus terjadi dan meningkat. Hal ini ditandai dengan upaya kafir Quraisy yangakan membunuh Nabi Muhammad sebagai pembawa bendera dakwah Islam dan menahan pengikutnya agar tidak meninggalkan Mekkah karena khawatir berdampak pada melemahnya perekonomian di Mekkah. Kekhawatiran orang-orang kafir ini mendorong mereka untuk menggelar pertemuan di Darun Nadwah pada hari Kamis 26 Shafar tahun 14 dari nubuwwah bertepatan dengan tanggal 12 September 622 M. pertemuan ini diikuti anggota parlemen Quraisy yang merupakan perwakilan dari seluruh kabilah Quraisy. Mereka antara lain Abu Jahal bin Hisyam (Bani Makzum), Jubair bin Muth’im, Thu’aimah bin Ady dan Al-Harits bin Amir (Bani Naufal), Syaibah, Utbah dan Abu Sufyan (Bani Abdi Syam), An-Nadhar bin al-Harits (Bani Abduddar), Abul Bahtary bin Hisyam, Zam’ah bin al- Aswad, Hakim bin Hizam (Bani Asad), Nubih dan Munabbih (Bani Sahm), dan Umayyah bin Khalaf (Bani Jumah). Temu parlemen ini membahas bagaimana upaya untuk menghentikan dakwah Nabi Muhammad. Dari proses diskusi ini, muncul beberapa usulan, mulai dari mengusir Nabi Muhammad, hingga membunuh Nabi Muhammad. Usulan yang terkahir yang disepakati oleh forum karena dianggap sebagai yang paling efektif.
Mendengar gagasa pembunuhan ini, Nabi Muhammadtidak menggalang kekuatan untuk menghadapi gerakan pembunuhan terhadap dirinya. Beliau lebih memutuskan untuk menghindari konflik dengan meninggalkan lokasi konflik menuju Yatsrib bersama para pengikutnya yang kemudian disebut sebagai hijrah.
(F) Konflik Jama’ah Haji dengan Quraisy
Konflik ini terhadi ketika Nabi Muhammad hendak melakukan ibadah ihram bersama para pengikutnya yang berjumlah 1400 orang. Pada saat itu, karena niatan untuk beribadah, maka Nabi beserta para rombongan hanya mengenakan pakaian ihram dan tidak membawa senjata. (8) Dalam hal ini. Mekkah masih menjadi basis kaum Quraisy meskipun masyarakatnya telah tunduk karena keberhasilan Nabi dalam dakwahnya di Madinah. Pada saat itu, kaum Quraisy yang tidak menghendaki kehadiran nabi beserta para rombongannya di Mekkah mencoba untuk menghalangi Nabi memasuki wilayah tersebut. Karena sulitnya masuk ke Mekkah akhirnya nabi beserta para rombongan beristirahat di kota Hudaibiyah yang letaknya di pinggir kota Mekkah. (9)
Usaha Nabi untuk meyakinkan para tokoh Quraisy perihal niat kedatangan beliau beserta rombongan hanya untuk beribadah ternyata sangat sulit, tetapi beliau tidak menyerah sehingga beliau berhasil mempertemukan kaum muslimin yang diwakili oleh beliau dengan tokoh quraisy Suhail Bin Amr dalam satu meja untuk mendiskusikan penyelesaian konflik yang terjadi antara kaum muslimin dengan kaum Quraisy. Buah dari pertemuan tersebut adalah dengan lahirnya perjanjian hudaibiyah (10) yang isinya: (11)
- 1). Nabi tidak diizinkan mengunjungi kakbah pada tahun itu, tetapi dapat melaksanakannya padatahun berikutnya.
- 2). Tiap-tiap kunjungan hanya dilakukan selama 3 hari dan tanpa membawa senjata, kecuali pedang yang telah disarungkan.
- 3). Selama kunjungan itu, penduduk haru skeluar dari kota Mekkah dan memberikankesempatan kepada kaum muslimin menunaikan ibadah umrah.
- 4). Kaum muslimin wajib mengembalikan orang Mekkah yang datang ke madinah untuk masuk islam tanpa persetujuan walinya, sedang pihak Quraisy boleh menerima orang Mekkah yang telah hijrak ke Madinah bila mereka ingin kembali ke Mekkah
- 5). Kaum muslimin Madinah dan kelompok Quraisy Mekkah sepakat untuk gencatan senjata selama 10 tahun.
- 6). Setiap kabilah bebas mengadakan persekutuan (aliansi) dengan kaum Quraisy atau kaum muslimin, dan aliansi tersebut dihormati oleh kedua belah pihak.
Disamping itu, penyelesian sengketa dengan menggunakan alternative seperti mediasi, negosiasi, arbitrasi, rekonsiliasi dan adjudikasi telah terjadi pada masa nabi Adam yakni saat terhadi konflik diantara putra dan putri Nabi Adam, yakni antara Habil, Qabil, Lubuda dan Iklima. Lubuda adalah kembaran Habil dan Iklima adalah kembaran dari Qabil. Pada saat itu, atas perintah Allah, Nabi Adam menjodohkan anak-anaknya, yakni Habil dengan iklima dan Qabil dengan Lubudam akan tetapi, Qabil merasa dirinya tidak pantas mendapatkan lubuda yang berparas jelek, dan ia lebih menginginkan iklima sebagai pendamping hidupnya. Karena sengketa ini, akhirnya nabi Adam melakukan adjudikasi terhadap anak-anaknya, tetapi usaha yang dilakukan oleh Nabi Adam ini tidak dapat mencapai kesepakatan yang berakhir pada Qabil membunuh saudaranya sendiri yaitu Habil. Meskipun proses adjudikasi tersebut tidak berhasil, tetap dapat dimasukkan dalam penyelesaian sengketa secara alternative melalui adjudikasi oleh Nabi Adam dan termasuk juga dalam Mediasi dalam sejarah islam. (12)
REFERENSI
Sumber #Kutipan: Artikel Mediasi Islam. nabila pake (2).docx
Barret, Jerome T. with Joseph T Barret, A History of Alternative Dispute Resolution (The Story of a Political, Cultural, and Social Movement), edisi pertama. San Fransisco : Jossey-Bass, A Wiley Imprint, 2004.
Saifullah, Muhammad. Mediasi dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Poditif di Indonesia. Cet. 1. Semarang: Walisongo press, 2009.
Abbas, Syahrizal . Mediasi dalam perspektif Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Cet. 1. Jakarta: Kencana, 2009.
1# Jerome T. Barret with Joseph T Barret, A History of Alternative Dispute Resolution , The Story of a Political, Cultural, and Social Movement (San Fransisco : Jossey-Bass, A Wiley Imprint, 2004), 13-14
2# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Poditif di Indonesia (Semarang: Walisongo press, 2009), 11-12
3# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 49-51
4# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 52-54
5# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 35-40
6# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 40-42
7# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 51-52
8# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 55
9# Syahrizal Abbas, Mediasi dalam perspektif Syari’ah, Hukum Adat dan hukum Nasional ( Jakarta: Kencana, 2009), 171
10# Muhammad Saifullah, Mediasi dalam tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia, 55
11# Syahrizal abbas, Mediasi dalam Perspektif Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, 172
12# Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Syari’ah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, 121-122
Artikel Lanjutan: