Membangun Ekonomi Umar di Indonesia melalui Zakat – Sebanyak 29,89 juta penduduk Indonesia (12,36%) masih miskin hingga September 2011. Angka itu memang turun 130 ribu orang (0,13%) dibandingkan Maret 2011 yang sebesar 30,02 juta orang (12,49%). Demikian disampaikan Plt Kepala BPS Suryamin dalam konferensi pers di kantor BPS, Jalan DR Sutomo, Jakarta, Senin (2/1/2012). (dikutip dari detikfinance)
Kabar penurunan angka kemiskinan sekilas terlihat merupakan hal yang menggembirakan, setidaknya bernilai positif. Sudah satu dekade terakhir angka kemiskinan di Indonesia terus menurun, hingga pada akhir 2011 kemarin jumlah penduduk miskin turun hingga sebesar 29,89 juta dari 237,6 juta penduduk Indonesia (sumber lain menyebutkan 31,2 juta jiwa). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan di penduduk di Indonesia semakin meningkat.
Tapi pertanyaannya, apakah angka-angka tersebut sudah cukup ?
Memang kalo menurut angka tersebut bisa dikatakan “ya lumayanlah”, apalagi jika dibandingkan dengan AS yang jumlah penduduk miskinnya 15%, Indonesia masih lebih unggul. tetapi masalah kemiskinan bukanlah hanya masalah yang dapat diukur dengan angka-angka, lebih dari itu. Setiap orang yang sedang kelaparan sekarang tidak akan peduli terhadap susunan angka tersebut, itupun kalau mereka bisa baca tulis. Mereka hanya menunggu tanggung-jawab secepatnya dari para penguasa Tanah Surga ini. Bahkan pemerintah sendiri menyebutkan bahwa hingga tahun 2015 masih ada 15,5% dari saudara kita yang rawan menderita kelaparan.
Walaupun angka di Indonesia menurun terus, bahkan mengungguli negara lain (dalam persentase), tetapi angka 29,89 juta bukanlah angka yang kecil. Selain itu selisih penurunan tersebut (0,13%) masihlah sangat kecil. Sepertinya kemiskinan di Indonesia sudah memasuki tahap kronis (hard core poorly). Bayangkan, untuk mengurangi 1% kemiskinan saja sukar sekali. Bahkan, menurut Hamonangan, kemiskinan di Indonesia akan stagnan di level 10%. Hal ini karena masyarakat miskin berada pada daerah yang tidak terjangkau.
Itu baru membicarakan masalah kemiskinan, belum masalah kesejahteraan yang mana cakupannya lebih luas. Negara yang besar ini masih berjalan terseok-seok dalam hal kesejahteraan. Kemiskinan berdampak negatif pada masalah kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain-lain. Kemudian masalah-masalah tersebut berdampak timbal-balik kepada kemiskinan yang mana nantinya akan menciptakan sebuah lingkaran kesengsaraan pada penduduk tingkat menengah kebawah. Sungguh tragis sebenarnya jika kita melihat fakta pada keadaan rill yang jauh berbeda dari kesan yang dibawa angka dari laporan kemiskinan tersebut. Sungguh konyol jika pemerintah tenang dan merasa cukup dengan angka tersebut.
Penyebab Kemiskinan di Indonesia dan Usaha dalam Menanggulanginya
Sudah pasti akan banyak orang melemparkan tuduhan nomor satu ke Pemerintah. Memang merekalah yang paling bertanggung-jawab dan mempunyai kewenangan. Tapi juga terlalu cepat jika kita melemparkan semua sebab kepada mereka. Selain itu, pemerintah juga telah berjasa melakukan usaha-usaha terpadu dalam mengentaskan kemiskinan. Ada program instruksi daerah tertinggal (IDT), PNMP Mandiri perkotaan dan pedesaan, subsidi bahan pokok, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), BLSM, dll. Dan juga dibantu oleh Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan dan lembaga keuangan.
Tetapi sayang, itu semua tidak sejalan dengan sikap pemerintah sendiri. Korupsi menjadi penghambat niat baik tersebut. Korupsi terjadi hampir di setiap lini termasuk di lapangan. Di daerah Jawa Barat dan Sumatera, jatah raskin yang harusnya 15/kg perbulan untuk warga miskin, dipangkas jadi 2,5 sampai 3 kg. Belum lagi kualitasnya yang tidak sesuai. Selain itu bantuan dari pemerintah terkadang salah sasaran, yang berhak malah tidak dapat.
Penyebab lain kemiskinan adalah sistem ekonominya sendiri, yaitu sistem ekonomi konvensional. Kekayaan masih berpusat pada beberapa orang saja. Masih banyak orang yang peduli terhadap saudara-saudara kita.
“Data Bank Dunia (World Bank) menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 100 juta jiwa, semantara 40 individu terkaya di negeri ini menguasai lebih dari Rp 700 triliun harta,” ujar Ahmad Juwaini Direktur Dompet Dhuafa di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Selasa (27/12/2011). Selain itu susan george dalam How the Other Half Dies menyatakan, bahwa penyebab utama kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi karena adanya sekelompok kecil orang-orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya diakibatkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over-population)
Hal-hal tersebut menyebabkan pengentasan kemiskinan berjalan begitu lambat atau bahkan gagal di sebagian wilayah. padahal kalau dihitung-hitung Indonesia sebenarnya tidaklah miskin, rakyatnya saja yang miskin. Kalau sistem ekonomi kapitalis pasti akan melemparkan kesalahan orang miskin sendiri. Tetapi tentu itu sungguh pandangan yang tidak bermoral, apalagi di Negara kita ini. Kita menderita bersama, berdiri bersama. Kita punya tugas terhadap kemiskinan ini. Pemerintah masih punya PR banyak. Jika para pemimpin tidak bergeming maka sudah tugas kita untuk turut serta. Seperti yang Mario Teguh katakan “Jika untuk kebaikan, tidak perlu menunggu pemimpin! Lakukan Sendiri!”
Potensi Zakat di Indonesia
Mengutip Majalah Gontor, bahwa Baznas, FEM IPB, dan Bank Pembangunan Islam (IDB) melakukan riset yang hasilnya bahwa, pada 2011 terjadi kenaikan potensi zakat di Indonesia sebesar Rp 217 triliun atau 3,14 persen dari GDP (Gross Domestic Product) Indonesia. Sementara dana zakat yang terhimpun baru sekitar Rp 1,8 triliun. Walaupun masih kecil sekali perbandingan, tetapi zakat yang terkumpul telah membawa hasil yang signifikan. apalagi jika seluruh potensi zakat tersalurkan dengan, tentu Rp 217 triliun sangat cukup untuk mengentaskan kemiskinan bahkan mengubah penerima zakat (Mustahik) menjadi pemberi zakat (muzakki).
Potensi zakat ini perlu dimanfaatkan dengan baik. yang penting tidak hanya penerimaan jumlah, tetapi juga penyalurannya dalam proses pemberdayaan umat. Sudah banyak kisah-kisah sukses dari para Mustahik yang kemudian naik level menjadi Muzakki. Maka ketika jumlah Muzakki bertambah maka potensi zakat pun juga ikut bertambah. Bayangkan, zaman keemasan perekonomian seperti pada pemerintahan Umar bin Abdul Aziz sebenarnya masihlah mungkin bagi Indonesia, yaitu zaman dimana ketika tidak ada lagi seorang miskin yang pantas menerima zakat lagi.
Memang sederhana dalam konsepnya, tetapi hal ini takkan semudah yang dibayangkan. Akan ada banyak faktor lain dan juga diperlukan kerja sama dari semua pihak terkait. Tetapi jelas, zakat adalah sistem keuangan yang sederhana tetapi sempurna, unik tetapi jelas, setidaknya untuk zaman ini. Sistem zakat dalam maksud redistribusi harta tidak bisa disamakan dengan sistem pajak, memang serupa tapi tidak sama. Sistem zakat mencakup target yang lebih luas dan lebih dalam daripada pajak. Allah berfirman, ”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) para budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah: 60)
Zakat Untuk Kesejahteraan Rakyat
Zakat dalam pemakaianya bisa dibagi 2, zakat yang bersifat konsumtif dan zakat yang bersifat produktif. Zakat yang konsumtif biasanya habis sekali pakai. Sedangkan zakat produktif manfaatnya bersifat jangka panjang, hasilnya tidak langsung terlihat. Inilah titik fokusnya sekarang dalam mengentaskan kemiskinan. Sudah banyak Lembaga Amil Zakat yang memanfaatkannya secara produktif, seperti Dompet Dhuafa, BMH, Lazis-Nu, Lazismu, dan banyak lagi.
Apakah yang dimaksud zakat yang produktif ? jadi dana zakat yang telah terkumpul tidak langsung diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Lembaga Amil Zakat bekerja sama dengan pihak terkait mengelola zakat tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang lebih produktif. Dalam hal ini, BAZNAS telah memiliki beberapa program. Program-program itu di antaranya: Program Indonesia Peduli, Program Indonesia Makmur, Program Indonesia Cerdas, dan beberapa lainnya. Hal ini dikarenakan faktor penyebab kemiskinan tidak sederhana, ada pendidikan, kesehatan, kemandirian atau yang lain.
Dalam memberikan bantuannya amil zakat juga ikut mendampingi mereka, misalnya dengan pembinaan untuk membuka usaha, memberikan peluang, dan pembinaan mental. Dengan begitu zakat tidak hanya berhasil mengentaskan kemiskinan tetapi dapat mengubah mereka menjadi mandiri. berbeda dengan halnya BLT. Jatah enam bulan habis dalam sebulan bahkan kurang ditambah dengan masalah salah sasaran. Jika BLT habis, habis juga harapan mereka. Zakat benar-benar mempunyai orientasi untuk mengentaskan kemiskinan seluruhnya.
Pada tataran pengaplikasiannya zakat digunakan untuk memberikan beasiswa, membangun sekolah, membangun rumah sakit gratis, mengembangkan wirausaha, lembaga keuangan mikro syariah, bantuan tanggap darurat, rehabilitasi korban bencana dan banyak lagi. Terobosan-terobosan ini adalah tanggapan sebagai bentuk kefakiran dan kemiskinan yang semakin kompleks.
Lembaga Amil Zakat juga adalah sesuatu hal yang krusial. Dalam pemenuhan tujuan zakat ini, Lembaga Amil Zakat benar-benar menjadi harapan. Analogi sama seperti pemerintah dengan program-programnya dalam mengentaskan kemiskinan. Jika pelaksana-pelaksananya korup dan tidak memiliki orientasi yang benar sudah tentu programnya akan rusak, entah bantuannya yang nyangkut, salah sasaran, atau tidak ada hasil. Syukurnya sampai sekarang badan zakat masih terjaga dari hal-hal seperti itu.
Tetapi dalam perjalanannya badan zakat tentu juga menemui beberapa kendala. Yang pertama adalah pemahaman masyarakat, masih perlu sosialisai dan edukasi kepada masyarakat, termasuk para orang kaya. Yang kedua adalah lembaganya. Lembaganya harus terus dijaga, tidak boleh asal-asalan dan sekedar menampung, diperlukan amil akat yang kompeten tapi juga dedikatif dan amanah. Yang ketiga adalah dari juru kuncinya, yaitu pemerintah. Dukungan pemerintah diperlukan salah satunya dalam bidang hukum kelembagaannya. Dan yang terakhir adalah dari kita sendiri, apakah kita mau ikut berpartisipasi atau tidak. Karena, masalah kemiskinan tidak pernah menjadi masalah sepihak. Kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama, kemiskinan adalah masalah yang kita harus selesaikan bersama di Tanah Surga ini. Wallahu a’lam
Artikel Lanjutan: